Pertama kali kulihat wanita itu melewati pintu yang dibukakan oleh pelayan
restoran, berjalan bersamaan dengan seorang wanita lain. Aku hanya melihatnya
sekilas lalu karena kupikir ia akan berjalan terus melewati mejaku. Kembali kuarahkan
pandanganku kepada tumpukan buku yang ada dihadapanku.
Beberapa detik berlalu, kembali kuarahkan pandanganku kearah pintu yang ada
sisi kiriku. Kulihat wanita itu berdiri didepan pintu, tepat di tepian koridor.
Ah, mungkin dia sedang menunggu seorang teman, demikian pikirku.
Beberapa menit terus berlalu. Wanita itu tak beranjak dari tempatnya
berdiri. Pula tak ada seorang pun yang datang menghampirinya. Rupanya dia
memang datang sendirian dan tak sedang menunggu siapapun, demikian pikirku saat
itu.
“Ya bu....” Baru saja kubuka mulutku hendak bertanya padanya apakah ada
yang bisa kubantu karena kupikir mungkin saja dia sedang bingung mencari lokasi
ruangan tempat acara kami berlangsung, wanita setengah baya itu langsung
melihat kearahku dan datang menghampiriku.
Dengan logatnya yang khas dia menyampaikan maksud kedatangannya ke tempat
itu, namun aku tak dapat menangkap maksud pembicaraannya dengan jelas. Yang
sangat jelas kutangkap hanyalah kata-katanya yang mengatakan bahwa ia tidak
punya uang. Kebetulan ada dua orang teman panitia yang berdiri didekat mejaku dan
akhirnya mereka menanyainya dengan lebih jelas.
Ternyata wanita itu datang hendak berjualan CD lagu penyanyi gereja yang
saat itu menjadi pengisi acara di acara kami. Dia bercerita kalau penyanyi itu
sendiri – yang ternyata sama-sama berasal dari NTT kalau tidak salah – yang menyuruhnya
datang dan berjualan beberapa keping CD yang dibawanya. Padahal penyanyi itu
sendiri sudah membawa ratusan keping CD untuk dijual di acara kami. Aku sempat
berpikir, apakah telah terjadi miskomunikasi diantara mereka berdua?
Seorang teman panitia nampak cuek-cuek saja menanggapi wanita itu. Akhirnya
seorang teman panitia yang lain berinisiatif untuk memanggilkan penyanyi yang
diakui oleh wanita itu mengenal dan menyuruhnya datang.
Beberapa menit berlalu. Teman panitia yang hendak memanggilkan penyanyi itu
tak kunjung kembali. Penyanyi itu pun tak kunjung datang. Akhirnya kusuruh
seorang teman panitia lain yang sedang duduk disebelahku untuk meminta wanita
itu duduk saja sembari menunggu.
Beberapa menit terus berlalu. Wanita itu tak juga mau duduk. Tak lama
kemudian teman yang duduk disampingku beranjak pergi. Aku pun bergeser duduk
mendekati wanita itu. Sekali lagi kuminta wanita itu untuk duduk tapi ia tak
bergeming.
Tak lama kemudian wanita itu mengulurkan tangannya dan memperkenalkan diri.
“Nama saya Maria”, ujarnya. Kusambut tangannya dan kuperkenalkan diriku. Kami pun
akhirnya berbincang-bincang. Dia mengatakan kalau tahu begini jadinya maka ia
tidak akan datang ke restoran itu. Akhirnya kukatakan padanya lebih baik masuk
ke ruangan tempat acara saja, toh
sudah terlanjur datang. Tapi wanita itu menolak dengan alasan, “Saya kan orang nggak punya, yang datang di acara ini
kan orang kaya semua.”
Aku katakan tidak masalah dan mencoba meyakinkannya untuk masuk, tapi wanita
itu tetap merasa minder. Bujukanku tidak mempan.
Saat itu dia memang memakai pakaian yang sederhana dan ditutup jaket kain.
Alas kakinya pun berupa sandal yang sederhana. Sebuah tas berukuran sedang yang
pastinya berisi beberapa keping CD lagu tergantung di pundak kanannya. Wajar
saja kalau dia merasa minder karena penampilan sebagian besar para tamu
undangan nampak sangat bertolak belakang. Dari ujung kepala sampai ke ujung
kaki menempel barang-barang yang mewah. Cara berjalan mereka pun sangat percaya
diri. Mungkin saking percaya dirinya sampai-sampai saat aku menyambut mereka
dengan senyuman mereka sama sekali tidak membalas dengan senyuman. Ekspresi wajah
yang datar. Ahh....
Beberapa menit tetap berlalu. Penyanyi itu tak juga datang. Ibu Maria pun
tetap berdiri disamping mejaku. Akhirnya kuputuskan untuk meninggalkan meja
tempat tugasku dan menemaninya masuk ke ruangan tempat acara berlangsung.
“Mari bu, masuk sama saya saja”, ujarku padanya. Wanita itu pun akhirnya
mengikutiku memasuki ruangan. Saat aku menunjukkan kursi dimana ia bisa duduk,
wanita itu mengucapkan terima kasih. Dia nampak sangat bersyukur karena
diperkenankan masuk.
Saat acara makan malam tiba, ruangan menjadi semakin sepi karena para tamu
undangan beranjak keluar ruangan untuk mengambil makanan yang disediakan secara
prasmanan diluar ruangan. Kulihat wanita itu, Ibu Maria, masih saja tak
beranjak dari kursinya. Kudekati dia dan kukatakan padanya untuk ikut mengambil
makanan di luar. Sekali lagi dia mengucapkan terima kasih.
Tak lama setelah acara makan selesai, kulihat Ibu Maria masuk kembali ke
ruangan dan berkata, “Saya sudah kenyang. Terima kasih ya. Semoga Tuhan
memberkati.”
Setelah acara selesai dan semua tamu sudah pulang, kulihat Ibu Maria masih
belum pulang. Dia nampak sedang berusaha menawarkan CD lagu yang dibawanya. Namun
nampaknya orang-orang tidak tertarik untuk membelinya. Tak lama kemudian
kulihat dia menawarkannya kepada seorang teman panitia, tapi teman itu tidak
berniat membeli karena mengaku sedang bokek.
Aku merasa kasihan melihat Ibu Maria.
Melihat pemandangan didepan mataku itu, hatiku mulai bergumul. Akankah aku
membeli CD lagu dagangan Ibu Maria? Ingin rasanya aku membantunya. Tapi aku tidak
tahu apakah lagu-lagunya sesuai dengan seleraku atau tidak. Selama ini aku
hanya membeli atau merekam lagu yang aku sukai. Selain itu, sebenarnya aku
sedang bermaksud berhemat agar uang sisa gajiku cukup sampai dengan waktu
gajian dan aku merasa sayang membuang uang Rp. 50.000,- untuk barang yang
kurang penting. Bagiku uang Rp. 50.000,- sangat berarti untuk menyambung
hidupku. Namun kemudian aku berpikir, pasti Ibu Maria lebih membutuhkan uang
itu. Kalau aku kekurangan uang, aku masih bisa meminjam kepada kakakku dengan
mudah, tapi kalau Ibu Maria belum tentu ada orang yang mau meminjamkan uang
kepadanya dengan mudah. Akhirnya aku pun membeli sebuah keping CD lagu dagangan
ibu itu.
Untuk kesekian kalinya Ibu Maria mengucapkan terima kasih, semoga Tuhan
memberkati, semoga Rp. 50.000,- dilipatgandakan oleh Tuhan, dan lain
sebagainya. Aku merasa senang dan lega sudah mengambil keputusan yang tepat.
Melihat sukacita dan rasa syukur Ibu Maria yang meluap-luap membuat
kekuatiranku akan kehabisan uang sebelum hari gajian menjadi luntur.
Sebelum pulang, kami para panitia membereskan barang-barang keperluan
acara. Karena masih sisa banyak, akhirnya roti yang tersisa dibagi-bagikan
diantara para panitia. Kuambil 3 bungkus roti dan kuberikan kepada Ibu Maria.
Aku rasa dia akan membutuhkannya. Terpancar rasa bahagia dan untuk kesekian
kalinya dia mengucapkan terima kasih dan mengatakan semoga Tuhan memberkati
berlimpah-limpah. Aku hanya bisa menjawab, “Amin.”
***
Perkumpulan kami - yang sedang punya
gawe di restoran itu – sebenarnya
adalah sebuah perkumpulan yang mengaku bertujuan untuk membantu sesama yang
miskin dan tertinggal di daerah pedalaman. Perkumpulan kami berusaha memberikan
perhatian dan donasi materi untuk mereka. Aku rasa masih banyak perkumpulan
lain yang bertujuan mirip, yaitu membantu mereka yang miskin dan menderita.
Sering kita mengaku peduli akan kesulitan dan penderitaan mereka yang
miskin dan menderita. Namun seringkali kita melihat mereka hanya di
tempat-tempat kumuh, di daerah pedalaman, di panti asuhan, di panti jompo, di
YPAC, di penjara, dan lain sebagainya. Kita tidak melihat bahwa orang-orang
yang ada dekat disekitar kita pun masih banyak yang bisa dikatakan terbuang,
terpinggirkan, miskin dan menderita. Ibu Maria contohnya.
Ibu Maria merasa minder karena ia miskin. Ia tidak berani bergabung dengan
orang-orang yang ada didalam acara kami. Bukankah itu bisa dikatakan kalau ia
merasa terpinggirkan? Terbuang dari antara kelompok orang-orang berduit dan
berkelas. Ia tidak masuk hitungan. Tidak ada pengakuan bagi dirinya dan
karenanya ia merasa minder.
Sejujurnya didalam hati aku merasa kuatir akan ditegur oleh teman-teman
panitia yang lain apabila aku mengajak Ibu Maria masuk mengikuti acara kami,
karena diawal seseorang pernah mengatakan agar selektif dalam mengundang tamu,
yaitu mereka yang sekiranya berprospek untuk mau menjadi donatur di perkumpulan
kami.
Selain rasa kasihan, hal yang menggerakkan aku untuk nekad mengajak Ibu
Maria masuk ke ruangan adalah pemikiran bahwa jika aku tidak mempedulikannya
dan tidak mengajaknya masuk, maka itu berarti bahwa aku adalah anggota
perkumpulan yang mengaku peduli terhadap orang miskin di daerah pedalaman tapi tidak
peduli dengan orang miskin yang ada didepan mata. Bisa dikatakan aku mengasihi
orang yang tak kelihatan (di seberang lautan), tapi tidak mengasihi orang yang
kelihatan.
***
Aku juga bertanya-tanya mengapa Ibu Maria begitu takutnya untuk masuk
kedalam ruangan acara. Apakah dia merasa ditolak? Seingatku kami para panitia tidak
pernah menolaknya dengan kata-kata. Lalu apa yang menyiratkan penolakan itu? Apakah
sikap kami para panitia dan tamu undangan? Apakah suasana disana saat itu? Apakah
keglamoran penampilan para panitia dan tamu undangan?
Aku merasa trenyuh karena kelompok kami yang didalam namanya tercantum kata
KASIH belum bisa membuat semua orang merasakan kasih itu. Jika sikap, suasana,
dan keglamoran penampilan membuat orang merasa tertolak dan tidak bisa
merasakan kasih, haruskah hal-hal itu tetap dipertahankan???
Ya Tuhan, mampukanlah aku untuk senantiasa membuat orang-orang
disekelilingku merasakan bahwa mereka dikasihi, terutama mereka yang terbuang,
miskin, dan menderita. Mampukanlah aku memberi kesaksian nyata bahwa kasihMu
rata untuk siapa saja, tak memandang rupa dan harta. Amin.
**Catatan memori 11 Pebruari 2012**
kereeen !!!!
BalasHapusKamsia :)
Hapussometimes everyone thinks of changing the world, but only a few one thinks of changing their selves.
BalasHapusInspiring mba :)
Setujuuuu!!! Dan sayangnya aku juga seringkali msh seperti itu...hiks...hiks...
HapusTengkiu :)