Sakit hati, kesesakan, kehampaan, kekecewaan, ketakutan, kesedihan, amarah,
kecemburuan, kecurigaan, dan banyak lagi hal negatif lainnya bercampur aduk
jadi satu. Tiada hari yang kulewati tanpa air mata.
Terasa berat yang kurasakan. Tiada lagi kedamaian hati, tiada lagi
sukacita. Tiada lagi semangat, tiada lagi kebahagiaan. Tak tahu harus melangkah
kemana, tak tahu harus berbuat apa. Harapan seakan sirna, impianpun menguap
entah kemana. Apa yang hendak kuraih? Aku sudah tidak tahu lagi. Makan tak
enak, tidur tak nyenyak. Aku hanya menjalani hari demi hari dengan harapan
semua ini akan segera berlalu. Tapi tak juga segera berlalu. Hari demi hari,
minggu demi minggu, bulan demi bulan. Tak terasa 9 bulan pun berlalu. Dan aku
masih berada dalam kondisi yang sama. Tak ada kemajuan. Aku semakin terpuruk.
Hanya gelap disekelilingku.
Tuhan...kasihanilah dan tolonglah aku. Aku tak sanggup lagi. Kalimat itu
tak pernah absen dari doaku setiap hari. Beberapa kali aku pun menjerit
kepadaNya dalam doaku, “Sulit sekali mengikuti jalanMu, Tuhan...”
Aku merindukan masa-masa yang dulu. Kedamaian dan sukacita yang pernah memenuhi
hatiku. Sebuah pertanyaan pun terbersit, “Mengapa saat aku mulai mengikuti
panggilanMu aku mengalami semua hal berat ini, Tuhan?”
9 bulan yang lalu aku meninggalkan pekerjaanku untuk menjadi seorang
fulltimer dalam suatu karya sosial. Berbekal iman yang sebenarnya belum terlalu
kuat atau bisa dikatakan bondho nekad aku
pun melepaskankan semua yang telah kumiliki selama 10 tahun demi mengikuti
panggilanNya. Apakah benar yang kurasakan memang sebuah panggilan? Ya setidaknya
itulah yang kurasakan pada saat itu. Seorang teman mengatakan kalau aku sedang
hangat-hangatnya, karena aku baru saja dibaptis. Kalau seorang imam menyebut aku
mengalami euphoria rohani saat itu.
Seorang teman pernah menanyakan padaku, “Apakah kamu sudah tahu
konsekuensinya menjadi fulltimer?” Masih kuingat dengan jelas saat itu dengan
mantabnya aku menjawab, “Aku tahu pasti sulit, tapi kalau memang itu salib yang
harus kupikul, akan kujalani”. Ternyata saat ini aku merasakan bahwa salib itu
sangat berat. Seorang teman pernah mengatakan kepadaku, “Dulu kamu membayangkan
bahwa salib itu halus, tapi ternyata salib itu kasar dan menusuk-nusuk tubuhmu”.
Ya...masuk akal juga.
Tak butuh waktu lama setelah aku memasuki dunia baruku, aku pun mulai
dihadapkan pada sebuah ujian, yaitu ‘konflik pribadi’ berkepanjangan dengan
seseorang dalam komunitasku. Jatuh bangun kualami. Dengan peneguhan dari teman-temanku,
aku memaksakan diri untuk terus bertahan. Sampai akhirnya aku pun merasakan
kelelahan dan tidak juga bisa keluar dari lingkaran setan itu. Justru semakin
rumit dan menyakitkan saja yang kurasakan dari hari ke hari.
Kalau kuingat lagi, sebenarnya itu semua kesalahanku sendiri. Semenjak
memasuki dunia baru, aku semakin menjauh dari Tuhan. Semakin malas berdoa dan
mengikuti perayaan Ekaristi. Saat menghadapi ujian aku pun menjadi goyah dan
jatuh. Dan aku pun tidak mempunyai energi untuk bangkit dari keterpurukanku.
Memang seringkali menjadi kebiasaan manusia, kalau tidak sampai mentok tidak juga sadar. Setelah
berbulan-bulan berada dalam kegalauan akut, akhirnya aku pun mulai mencari
Tuhan lagi. Pelan-pelan aku mulai membenahi kehidupan rohaniku meski sangat
sulit. Aku mulai mencoba untuk kembali rutin berdoa dan mengikuti perayaan
Ekaristi. Aku juga mencoba untuk kembali membaca Renungan Harian dan Alkitab.
Ada semacam peneguhan, penghiburan, dan penguatan yang kurasakan meski hanya sejenak. Kekuatiran
dan pikiran negatif masih saja berhasil memporakporandakan semuanya.
Baru-baru ini, seseorang yang sedang berkonflik denganku itu mengatakan kepadaku bahwa aku telah membantu merubah dia kearah yang lebih baik dan karenanya dia
berharap terus bisa menjalin komunikasi denganku. Aku pun mengalami dilema. Jika
terus berhubungan dengannya aku takut akan terus merasakan sakit hati, karena
jujur saja aku belum bisa mengampuni dan mengikhlaskan semuanya. Tapi aku juga ingin
sekali bisa terus membantu dia untuk menuju kearah yang lebih baik.
Fiuuhhh..... Lalu aku harus bagaimana?
***
Pagi ini, setelah aku selesai membaca Alkitab, aku duduk merenung di
halaman depan rumah kakakku. Terlintas dalam ingatanku, sebuah doa yang
seringkali kuucapkan saat awal-awal aku menjadi Katolik, “Tuhan, pakailah aku sebagai
alatMu untuk melakukan kehendakMu”.
Ya ampun, dulu aku sudah memintanya sendiri agar dijadikan alatNya untuk
melakukan kehendakNya. Kalau memang saat ini aku sedang dipakai menjadi alatNya
untuk melakukan kehendakNya, harusnya aku tidak boleh berkeluh kesah dong. Kalau
memang saat ini aku sedang dijadikan alatNya untuk membantu dia, meski harus
menanggung rasa sakit karenanya, harusnya aku bisa ikhlas menjalaninya kan?
Tuhan, sanggupkah aku? Aku mohon, jika memang semua ini adalah kehendakMu,
mampukanlah aku untuk kuat dan ikhlas menjalaninya...
Surabaya, 14 Januari 2013
Mengampuni adalah salah satu hal tersulit utk siapapun..apalg buat sy sendiri. Tetapi ketika sy berdoa Bapa Kami, saya sll teringat akan kata2 dlm doa itu yg membuat sy mrs tidak pantas mengucapkannya... "Ampunilah kesalahan kami, seperti kamipun mengampuni yang bersalah kapada kami".
BalasHapusHal ini yg terus berulang nempel di otak saya. Dulu ada teman katolik sy jg bercerita...papanya menyuruh dia berlutut dan berdoa itu berulang2 sampai dia bs memaafkan org itu. Sejak itu sy baru benar2 memperhatikan 'isi' doa Bapa Kami terutama bagian yg diatas.
Apakah skrg sy sdh lbh gampang mengampuni? Tidak...tetapi kata2 itu sll bisa mengingatkan saya bahwa saya toh jg tdk sempurna..dan Bapa selalu mau mengampuni saya. Maka sy hrs bs kalahkan kedagingan sy utk ampuni org lain yg tdk sempurna.
Banyak hal yg membuat pedih dlm hdp ini...dan sy banyak melewatinya spt kamu Luciele. Dari ditinggal pacar yg msh status pacar dgn melayangkan email bhw dia tiba2 bertunangan, ditikam sahabat baik dari belakang dan si jelek2 an pd org lain ketika sy membuka rahasia sy padanya..dan msh banyak lg...
Semua hal..sangat menyakitkan dan spt kamu..ada masa2 sy tdk bs lewati tanpa air mata setiap hrnya.
Tetapi yg kutau, Tuhan selalu mengirimkan org2 utk menjadi guru kita dlm hdp..utk menyakiti kita, dan membentuk kita utk menyangkal diri. Krn Tuhan kan paling tau kelemahan kita. Jika kita lemah di pengampunan..Dia akan kirimkan ujian sebanyak mgkn sampai kita belajar itk mengampuni sesering mgkn. Mmg menyebalkan yah..tapi itulah cara Dia menyempurnakan kt sbg bentuk kasih sayangNya pd kita. Semakin kt susah..semakin kt bs refleksi diri..apa sih yg salah dariku? Knp Tuhan kasih semua ini?...
Pernah kubaca sebuah renungan dr buku God Calling. Disitu Yesus blg bahwa...setiap org pilihanNya yg akan melakukan pekerjaan2 besar bagiNya akan diuji berulang2 hal yg sama sampai org itu mengerti utk dipersiapkannya secara sempurna spy bisa melakukan karya2 besar bagiNya. Dalam cerita km, saya rs Yesus mempersiapkan kamu utk melakukan banyak hal besar bagiNya. Krn anak2 pilihan Tuhan yg sy kenal..mengalami lbh banyak 'ekstra kesusahan' dibanding mrk yg tdk dekat padaNya. Setiap org yg dtg pada kita adalah kirimanNya Luciele..kl mnrt saya. 'Enemy' km itu maybe adalah mmg org yg sdh km sentuh hatinya krn sikap dan perbuatan km yg baik. Km sdh berhasil jd alatNya dan itu hrs km banggakan :)
Mohon dukungan doa untuk saya sudah 5 tahun sakit stroke dan insomnia. Terima kasih. Melchior Suroso
BalasHapus