Mataku terasa berat. Sulit rasanya untuk dibuka. Badan pun rasanya lengket
di kasur, enggan keluar dari bawah selimut yang dari semalam menutupi rapat
tubuhku. Tapi bunyi berisik dari alarm HP ku yang tergeletak diatas meja yang
jaraknya setengah meter dari kakiku memaksaku untuk bangkit dan mematikannya.
Waktu menunjukkan pukul 06.00. Sesuai kesepakatan dengan ketiga orang temanku
- Mbak Sisca, Ratna, dan Aylie - bahwa
kami akan melakukan perjalanan pada pukul 08.00, maka seharusnya aku harus
segera bangun dan mandi. Namun rasa kantuk membuatku lebih memilih untuk
berbaring dan memejamkan mata lagi.
Sampai akhirnya terdengar suara ketukan di pintu kamar. Teman sekamarku, Aylie,
segera membukakan pintu untuk Mbak Sisca yang hendak mengambil peralatan mandi
yang tertinggal di kamar kami. Mengetahui teman-temanku sudah bangun semua,
maka aku pun segera melesat ke kamar mandi dan membersihkan diri dengan air
dingin pegunungan Prigen.
Saat aku keluar kamar seusai mandi, aku baru mengetahui bahwa sedang turun
hujan. Akhirnya kami pun harus menunggu hujan reda untuk melakukan perjalanan
yang sudah kami rencanakan. Sekitar pukul 09.30, begitu hujan reda, kami pun
segera bersiap-siap untuk pergi ke Rumah Pohon di Taman Dayu. Dengan membawa
bekal air minum dan makanan ringan secukupnya, kami berjalan kaki melewati
jalan tembusan yang berupa jalan setapak.
Hujan yang turun sebelumnya mengakibatkan jalan setapak yang kami lewati
menjadi becek dan licin. Kami pun harus berjalan pelan-pelan agar tidak
terpeleset. Selain jalanan terbuat dari tanah liat, alas kaki kami yang
seadanya membuat kami harus ekstra hati-hati dalam memilih pijakan bagi langkah
kaki kami. Kami memilih tanah yang ditumbuhi rumput dan batu-batuan agar kami
tidak tergelincir. Alhasil kakiku dan kaki Ratna menjadi bentol-bentol merah
serta terasa gatal akibat tergores rerumputan.
Namun ditengah perjuangan tersebut, kami menikmati perjalanan kami. Kami berjalan
santai sambil ngobrol dan saling membantu, serta sesekali berhenti untuk
berfoto. Pemandangan indah dan hijau yang terhampar disepanjang perjalanan
membangkitkan hasrat kami untuk bernarsis ria meski kaki belepotan lumpur dan
gatal-gatal.
Sampai akhirnya di sebuah tikungan kecelakaan kecil pun menimpa Aylie. Air
hujan yang menggenang membuat jalanan menjadi berlumpur, tidak ada bagian
kering atau berumput yang dapat dipijak. Dia yang hanya memakai sandal jepit
berusaha melewati jalan tersebut dengan dibantu oleh Mbak Sisca yang sudah terlebih
dahulu berhasil melewati genangan lumpur tersebut. Namun malang, kaki Aylie
tergelincir dan akhirnya jatuh di genangan lumpur dengan suksesnya. Aku dan
Ratna yang ada di belakang Aylie hanya bisa menonton dan berteriak kaget.
Akhirnya karena celana Aylie belepotan lumpur, dengan dibantu oleh Mbak
Sisca, dia pun berjalan balik dan membersihkan celananya dari lumpur di sebuah
aliran air tak jauh dari tempat terjadinya insiden. Ratna pun mengabadikan
momen Aylie yang sedang membersihkan diri, sedangkan aku tetap menunggu di
jalan setapak.
Pada saat yang bersamaan, seorang Bapak tua yang pada saat kami heboh
berjuang untuk melewati genangan lumpur sedang sibuk mencangkul tanah yang
dipenuhi ilalang, tanpa bicara apapun segera berjalan menuju ke genangan lumpur
tersebut sambil membawa cangkulnya. Tak disangka, Bapak tua itu menyingkirkan
lumpur yang memenuhi jalan setapak itu sehingga dapat dengan mudah dilewati.
Seorang pengendara motor yang sedang mengangkut rumput gajah yang muncul tak
lama kemudian, yang rupanya mengenal Bapak tua itu pun berkata, “Alhamdulillah”
saat melihat jalanan menjadi bersih dari genangan lumpur. Akhirnya dia dan
motornya pun dapat melintasi jalan itu dengan aman. Kami bertiga pun akhirnya
dapat dengan mudah meneruskan perjalanan kami berkat pertolongan Bapak tua itu.
Aku dan ketiga temanku terharu menyaksikan Bapak tua itu dengan ikhlas
berinisiatif membersihkan jalanan dari lumpur yang membahayakan pengendara
motor maupun pejalan kaki yang melintasi jalanan itu. Jika mau hitung-hitungan,
sebenarnya tidak ada untungnya bagi Bapak tua itu. Toh dia sudah memakai sepatu
boot yang aman bagi dia dan dengan mudahnya dia akan dapat melewati genangan
lumpur itu. Justru dengan membersihkan lumpur itu waktunya malah terbuang dan
pekerjaannya terhenti. Namun ternyata Bapak tua itu tetap dengan rela bersusah
payah membersihkan jalanan dari lumpur
demi orang lain. Bisa kubayangkan berapa banyak orang yang akan kesulitan
melintasi jalan setapak itu, bahkan mungkin juga menjadi celaka karena
terpeleset, seperti yang dialami Aylie. Bahkan mungkin aku dan Ratna pun akan
mengalami hal yang sama seperti Aylie, meskipun pada akhirnya Ratna pun
mengalami nasib yang sama dengan Aylie di bagian jalan yang lain hehehehehe...
Aku tersentuh melihat apa yang dilakukan oleh Bapak tua itu. Ternyata masih
ada orang baik yang melakukan sesuatu untuk orang lain tanpa pamrih. Tanpa
perhitungan untung rugi. Masih ada orang yang peduli dengan kepentingan orang
lain yang bahkan tak dikenalnya sekalipun.
Seandainya saja bumi ini dipenuhi oleh orang-orang berhati murni serta
penuh kasih dan kerendahan hati seperti Bapak tua itu. Apakah selama ini kita
berbuat sesuatu bagi sesama kita dengan ikhlas atau dengan pertimbangan untung
rugi? Mari kita tanyakan pada hati kita masing-masing.
Seandainya saja aku bisa meneladanimu, Bapak tua...
Prigen, 23 Juni 2013
Terima kasih Luciele untuk tulisan refleksi ini...
BalasHapusDengan sapaan dan tindakannya, beliau mengajari akan "kasih" yang tak bersyarat dan tak menghitung untung-rugi.
Semoga pengalaman-pengalaman ini akan semakin mengasah kepekaan kita untuk "menjadi" pribadi yang baik.
Amin...
HapusTerima kasih sudah berkenan membacanya. Sekarang saatnya untuk meneladani dan mempraktekkannya. Mari kita saling mengingatkan untuk menjadi pribadi yang lebih baik :)