Sore itu, 15 Nopember 2013, gerimis yang telah reda masih menyisakan
kelembaban di kolong langit. Mendung masih menggelayut manja di
langit...seperti hatiku yang mendung. Aku duduk di kursi kayu di teras tempat
praktek dokter ternama yang baru saja kutemui ditemani oleh seorang suster. Tidak
ada kata-kata yang tepat untuk menggambarkan perasaanku saat itu, karena aku
sendiri juga tidak tahu apa yang kurasakan. Baru setelah malam menjelang tidur,
aku menyadari perasaanku yang sebenarnya. Sedih. Karena apa? Karena ternyata
aku menangis.
Hepatitis B, dengan jumlah virus yang banyak telah terdeteksi bersarang
dalam tubuhku. Jika aku tidak segera melakukan terapi pengobatan, maka akan
berujung pada kanker liver dan sirosis, dan tentu saja kematian pada akhirnya. Itupun
dengan kemungkinan kesembuhan 7 – 8 orang dari 10 orang menurut dokter. Jika aku
termasuk dalam kumpulan 7 – 8 orang tersebut, maka aku sangat beruntung menurut
harapan manusia. Aku menyadari sejak dulu bahwa setiap orang pada akhirnya akan
meninggal, cepat atau lambat, dengan bermacam penyebab. Namun hari ini aku
merasa seakan malaikat kematian sudah mulai bercumbu denganku. Dan karenanya
aku menjadi sedih dan takut.
Bukan hanya soal virus-virus yang harus kuperangi dengan terapi pengobatan
yang membutuhkan biaya tidak sedikit yang membuatku sedih. Terlebih, dengan
adanya penyakit itu, impianku untuk bergabung dengan suatu tarekat religius dalam
waktu dekat ini menjadi kandas. Hampir satu tahun lamanya aku mempersiapkan
diri dan berfokus pada tujuan itu hingga hampir tak ada lagi yang tersisa pada
diriku saat ini selain harapan untuk bisa segera bergabung dan berkarya dalam
tarekat itu. Sejak aku berhenti dari pekerjaanku sebelumnya, aku memang sudah
tidak lagi bekerja demi mempersiapkan diri. Hidup dari uang tabungan dan hasil
penjualan perhiasan simpananku yang pada akhirnya saat ini sudah hampir tak
bersisa. Sebagian besar barang-barang milikku pun sudah kubagi-bagikan pada
orang lain. Dan saat ini aku harus memulai lagi dari NOL. Mulai merintis
mencari uang untuk menutup biaya terapi pengobatanku yang tidak murah, mulai
merintis rencana hidup yang baru. Semua rencanaku menguap dan tersapu oleh
angin, entah kemana arah perginya. Yang ada di hadapanku saat ini seakan lorong
gelap yang harus kumasuki, yang aku tak tahu apa yang akan kudapati didalamnya
dan tak tahu dimana ujungnya. Mungkin sebagian orang mengatakan saat itu aku
terlalu percaya diri, bodoh, dan konyol. Tapi bagiku, semua itu kulakukan
sebagai perwujudan keseriusan, totalitas, dan pengharapanku. Atau aku yang
salah? Entahlah...
Aku percaya bahwa Tuhan mempunyai rencana yang terbaik untuk hidupku maka
aku belajar untuk menerima dengan ikhlas semua perubahan mendadak yang terjadi
dalam hidupku saat ini meski tidak mudah. Dua hari setelah aku mendapatkan
kabar tentang penyakit yang kuderita, aku masih diliputi kesedihan dan
dibanjiri air mata. Hingga akhirnya pada waktu aku mengikuti Misa Kudus pada
hari Minggu kemarin, mataku tertuju pada sebuah kalimat Antifon Pembuka pada
lembaran kertas misa yang ada di hadapanku:
Aku
memikirkan rancangan damai, bukan bencana; kamu akan berseru kepadaKu dan Aku
akan membawa kamu kembali dari semua tempat pembuanganmu.
Kalimat itu begitu berkesan bagiku dan mengembalikan lagi semangatku. Ditambah
lagi dengan peneguhan yang aku dapatkan dari homili yang disampaikan saat itu.
Aku percaya bahwa penyakit yang aku derita dan kandasnya impianku, yang
saat ini terlihat seakan-akan sebagai bencana, sebenarnya bukanlah bencana. Aku
percaya bahwa Tuhan sedang mengarahkan aku pada jalan yang lain yang pastinya
terbaik menurutNya. Aku masih bisa berkarya dengan cara lain. Itu yang aku
tanamkan dalam diriku.
Aku juga percaya bahwa Tuhan tidak membiarkan aku sendiri dalam perjuangan
hidupku saat ini. Hal ini terbukti dengan hal-hal baik yang kualami, yang meski
sederhana tapi merupakan bukti penyertaanNya melalui orang-orang
disekelilingku. Kedua kakakku yang dengan sigap membantuku menyediakan berbagai
keperluan untuk terapi pengobatanku dan bantuan keuangan, teman-teman dan para
sahabat yang senantiasa memberikan doa, penghiburan, peneguhan, dan bantuan,
juga seorang sahabat yang meski jauh keberadaannya tapi senantiasa setia menemani
hari-hariku dan tak jemu-jemu menyemangatiku. Aku sungguh bersyukur karenanya. Aku
adalah orang yang sangat beruntung memiliki semua itu.
Dengan keadaanku saat ini aku jadi bisa membayangkan bagaimana rasanya
menjadi orang yang kurang beruntung dan mengidap penyakit berat. Orang-orang
yang kurang beruntung secara materi, orang-orang yang terpinggirkan, orang-orang
yang tak memiliki sanak saudara, orang-orang yang dijauhi atau mengalami
penolakan karena penyakitnya. Aku hanya bisa membayangkan betapa sedih dan
kesepiannya mereka, harus berjuang melawan penyakit tanpa ada orang yang menghibur,
meneguhkan, memperhatikan, merawat, apalagi jika tidak ada biaya. Hanya bisa
pasrah pada keadaan sambil menanti ajal.
Aku saja yang dikatakan masih sanggup untuk bekerja dan tidak memiliki
tanggungan, merasa cukup berat mengusahakan biaya terapi pengobatan sebesar
jutaan rupiah tiap bulannya. Apalagi mereka yang sudah tak berdaya secara fisik
dan ekonomi untuk mengusahakan biaya pengobatan, terlebih mereka yang masih
mempunyai tanggungan keluarga yang harus dihidupi. Uang dari mana yang akan
dipakai untuk pengobatan jika untuk kebutuhan sehari-hari saja sudah setengah
mati mengusahakannya atau bahkan tidak mencukupi?
Untuk penyakit-penyakit berat, seperti Hepatitis B contohnya, membutuhkan
biaya tidak sedikit untuk terapi pengobatannya. Setelah didapati positif untuk penanda
hepatitis melalui tes darah awal yang harganya ratusan ribu rupiah, masih perlu
dilanjutkan dengan tes HBV DNA yang harganya bisa mencapai jutaan rupiah. Kemudian
biaya terapi pengobatan selama 6 bulan tanpa henti dengan harga obat mencapai Rp.
1.500.000,- per bulannya. Belum lagi biaya tes darah dan kontrol ke dokter
setiap 3 bulan. Itu pun untuk hepatitis yang terhitung tidak parah kasusnya. Disamping
itu, penderita masih harus menjaga kekebalan tubuhnya agar virus-virus yang
sudah menginfeksi tidak semakin merusak liver, dengan cara minum vitamin atau
obat herbal lainnya dan makan makanan yang bergizi. Dan kesemuanya itu
membutuhkan biaya. Jika untuk hepatitis B harus pantang kacang-kacangan, maka
otomatis sumber protein yang murah dari kacang-kacangan harus diganti dengan
sumber lain seperti telur dan daging ayam atau ikan yang harganya jauh lebih
mahal. Hmmm...seperti sudah jatuh ditimpa tangga pula ya?
Bisa dibayangkan berapa jumlah biaya keseluruhan yang harus dikeluarkan
sampai dengan mencapai kesembuhan? Lalu bagaimana dengan penyakit lain yang
lebih berat? Memang benar kalimat yang sering aku dengar bahwa ORANG MISKIN
DILARANG SAKIT! Karena begitu mereka sakit, terlebih di negeri ini yang
notabene akses pengobatan yang layak terbilang cukup mahal dan tidak bersahabat
dengan orang miskin, maka bisa dikatakan bahwa mereka hanya bisa menanti ajal
menjemput. Sungguh tragis.
Bercermin dari pengalamanku sendiri saat ini, terbersit dalam anganku,
seandainya saja aku dapat membentuk suatu wadah yang khusus membantu pengobatan
Hepatitis bagi orang kurang mampu. Hmmm....impian yang tidak mudah untuk
diwujudkan. Tapi tidak ada salahnya bermimpi kan??? Hehehe...
Pada akhirnya beberapa hari ini aku jadi membayangkan bahwa banyak hal yang
sebenarnya bisa kita lakukan untuk membantu mereka yang kurang beruntung yang
sedang kesusahan karena mengidap penyakit berat. Tidak perlu muluk-muluk. Dari
hal paling sederhana yang tidak membutuhkan modal biaya, kita bisa menjadi
teman dan sahabat yang menemani, memperhatikan, menghibur, mendoakan, dan
meneguhkan. Hanya dibutuhkan niat dan hati yang tulus untuk melakukannya.
Bagi kita yang mempekerjakan pegawai baik itu pembantu rumah tangga, buruh,
sopir, maupun karyawan lainnya, alangkah baiknya jika kita memperlakukan mereka
secara manusiawi. Seringkali dalam pengamatanku, mentang-mentang kita sudah
mengupah mereka maka kita menuntut mereka bekerja tanpa henti. Mentang-mentang
kita merasa level majikan berada diatas mereka maka mereka cukup diberi makanan
ala kadarnya, yang penting kenyang dan punya energi untuk bekerja keras. Lebih tragis
lagi yang kutemui adalah kamar tidur yang seringkali tidak layak yang diberikan
untuk mereka. Hanya sebuah ruangan sempit tanpa ventilasi yang baik dan kasur
yang layak, yang penting cukup untuk membaringkan badan. Dengan hal sederhana seperti
memberikan kesempatan beristirahat yang cukup, makanan yang cukup bergizi, dan
tempat tidur yang layak sebenarnya kita sudah membantu mengurangi kemungkinan
terjangkitnya penyakit bagi mereka. Jika hal-hal tersebut tidak terpenuhi maka
tentu saja dengan mudahnya daya tahan tubuh akan menjadi lemah dan penyakit
akan mudah menyerang, karena mereka
adalah manusia, bukan mesin.
Aku juga membayangkan, seandainya uang yang biasa dikeluarkan oleh setiap
orang di muka bumi ini untuk foya-foya seperti makan di restoran mewah, membeli
barang-barang mewah yang kurang penting hanya demi gengsi, dan hiburan yang
tidak sehat – disisihkan dan dipakai untuk membantu mereka yang miskin, berapa
nyawa yang dapat terselamatkan dari kematian sia-sia akibat tidak adanya biaya
pengobatan?
Bagi orang-orang yang memiliki keahlian tertentu, bisa saja memberikan
penyuluhan dan pemeriksaan kesehatan gratis untuk mereka. Dengan demikian, mereka
akan lebih paham akan pentingnya makan makanan bergizi serta menjaga kebersihan
dan kesehatan untuk menghindari terjangkitnya dan penularan penyakit.
Tidak cukupnya biaya pengobatan dikarenakan penghasilan yang tidak
mencukupi. Penghasilan yang tidak mencukupi seringkali dikarenakan tingkat
pendidikan yang rendah sehingga mereka tidak memiliki kesempatan bekerja atau tidak
bisa mendapatkan pekerjaan dengan posisi yang cukup baik. Terlebih di negeri
ini ijazah masih memegang peranan penting dalam mendapatkan pekerjaan. Dalam hal
ini, pembekalan ketrampilan, pemberian kesempatan belajar dan penyediaan lapangan
pekerjaan bagi orang miskin bisa dilakukan untuk membantu mengatasinya.
Menurutku masing-masing hal yang dapat kita lakukan diatas itu seperti mata
rantai yang bila disatukan dan dilakukan bersama-sama akan membentuk suatu
rantai yang kuat dan bisa saja menjadi senjata yang cukup efektif untuk mengupayakan
pertolongan kesehatan bagi orang miskin. Jika salah satu tidak dilakukan maka
akan menjadi kurang efektif. Hmmm...seandainya saja semua orang di muka bumi
ini bisa kompak bersatu padu untuk melakukan sesuai kesanggupannya ya?
Maukah dan beranikah kita ambil bagian menjadi mata rantainya?
Seandainya...
Surabaya, 18 Nopember 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar