Siang itu, 23 Juni 2014, kakak
iparku menghubungiku dan mengajakku untuk menemaninya mencari kado untuk
kakakku yang sedang berulang tahun pada hari itu. Maka sorenya, segera setelah
aku sampai di rumah sepulang kerja, aku segera mandi dan bersiap lalu menunggu
kakak iparku datang menjemput.
Sekitar pukul 17.30 kami meluncur
menuju ke gereja St. Maria Tak Bercela untuk terlebih dahulu mengikuti misa
harian sesuai permintaan kakak iparku. Mungkin di hari yang juga bertepatan
dengan hari ulang tahun pernikahan mereka yang kedua belas itu, kakak iparku
mempunyai ujub doa khusus yang ingin didoakan dalam perayaan ekaristi. Lalu, setelahnya
kami segera meluncur menuju Plaza Tunjungan untuk mencari barang yang akan
dijadikan kado. Setelah berputar-putar sekitar 1 jam, kami tidak menemukan
barang yang cocok. Lalu kakak iparku mengajak untuk berpindah tempat ke Galaxy
Mall padahal waktu sudah menunjukkan pukul 20.00 dan mataku sudah terasa berat
dan perutku sudah meraung-raung minta diisi. Apa boleh buat, aku hanya bisa
menuruti saja.
Setibanya di Galaxy Mall, kakak
iparku menawari untuk makan malam terlebih dahulu. Pucuk dicita ulam pun tiba. Karena
badanku sudah lemas akibat kelaparan akut, akupun segera mengiyakan. Lalu kami
pun segera menuju ke sebuah restoran pilihan kakak iparku yang ada disana yang
konon kabarnya masakannya lezat. Aku sih oke oke saja yang penting bisa segera
makan hehehe...
Saat membuka-buka daftar menu,
aku melihat harga-harganya yang cukup fantastis menurutku. Harga seporsi tumis sayur
yang termurah saja Rp. 45.000,- Hmmm... Kalau
saja aku tidak ditraktir, aku tidak bakalan mau makan di tempat itu. Tidak rela
rasanya mengeluarkan uang sebanyak itu hanya untuk makanan hehehe...
Setelah 4 menu masakan, nasi, dan
minuman yang kami pesan sudah keluar, kami pun segera menyantapnya. Rasa lapar seharusnya
membuatku bisa menikmati semua hidangan yang tersaji di hadapanku, namun ternyata
saat itu aku tidak bisa benar-benar menikmatinya. Ada sesuatu yang mengganjal
dalam hatiku. Ada perasaan menyesal menyergapku.
Aku makan dengan perasaan tidak
nyaman. Pikiranku melayang-layang. Entah mengapa aku jadi memikirkan kira-kira
apa ya yang ada di pikiran pramusaji yang sedang berdiri di dekat meja kami dan
melihat kami yang sedang makan saat itu? Bagaimana perasaannya saat itu ya? Apakah
mungkin mereka merasa iri melihat
orang-orang di restoran tempat mereka bekerja itu bisa dengan mudah mengeluarkan
uang untuk menyantap makanan mahal sedangkan mereka untuk biaya hidup
sehari-hari saja harus susah payah mengusahakannya? Bukan bermaksud menghina
mereka, namun aku bercermin dari realita yang selama ini terjadi di
sekelilingku.
Aku kembali teringat apa yang diceritakan
oleh Mbak Min - seorang petugas kebersihan di kantorku - 2 hari sebelumnya. Ia
bercerita kepadaku kalau dia sedang pontang-panting mencari pinjaman uang untuk
membayar biaya kos, SPP anaknya yang nunggak 3 bulan, biaya daftar ulang, biaya
buku, dan biaya rekreasi sekolah anaknya yang duduk di kelas 5 SD. Semua biaya
itu harus dilunasi pada saat yang bersamaan. Sedangkan upah hariannya sebagai
karyawan part time di kantorku hanya Rp. 25.000,- dan suaminya bekerja sebagai
tukang bangunan yang hanya bisa bekerja saat ada proyek. Saat tidak ada proyek,
dia bekerja serabutan yang penting dapur mereka bisa tetap mengepul. Kadang menjadi
tukang parkir, kadang menjaga gudang, kadang juga menganggur selama beberapa
waktu jika tidak ada kesempatan bekerja. Saat si suami menganggur, kebutuhan
hidup mereka hanya mengandalkan penghasilan si istri sebesar Rp. 25.000,- per
hari.
Beberapa waktu sebelumnya Mbak
Min juga pernah bercerita kalau dulu suaminya bekerja sebagai sopir angkutan
umum jurusan Surabaya – Malang, namun karena SIMnya hilang dan tidak ada biaya
untuk membuat SIM baru maka dia beralih profesi menjadi tukang bangunan. Ia dan
suaminya juga agak kesulitan mencari kerja di tempat yang agak jauh karena
mereka tidak mempunyai kendaraan. Sepeda motor yang pernah mereka miliki harus
dijual beberapa tahun yang lalu untuk membayar biaya rumah sakit saat Mbak Min
mengalami keguguran. Ditambah lagi Mbak Min yang kesulitan membaca karena
sekolahnya tidak lulus SD menyebabkan ia selama ini hanya bisa bekerja kasar
dengan gaji rendah. Ia juga tidak bisa memanfaatkan keahlian memasaknya untuk
berwirausaha berjualan makanan karena keterbatasan modal dan tempat.
Sungguh berat perjuangan mereka
dalam mendapatkan rupiah untuk menyambung hidup. Tapi malam itu bagaimana
dengan kami? Paling tidak sedikitnya uang sebanyak Rp. 300.000,- habis kami
belanjakan hanya untuk makanan yang habis hanya dalam waktu setengah jam. Harga
makanan kami untuk sekali makan setara dengan upah 12 hari kerja seorang petugas
kebersihan part time yang saat ini sedang pontang panting menutupi biaya hidup keluarga
dan biaya pendidikan anaknya.
Aku jadi merasa kikuk dan tidak
berani menatap para pramusaji itu. Para pramusaji yang harus selalu tersenyum
dan melayani dengan ramah orang-orang yang rela merogoh kocek dalam-dalam demi
memanjakan lidah dan perutnya, meskipun mungkin saja hati mereka sedang
merintih dan menangis karena mengalami pergulatan hidup seperti keluarga Mbak
Min.
Hmmm... Ingin rasanya aku cepat-cepat
pergi meninggalkan restoran itu sambil membawa kabur beban moral yang kurasakan
menjadi semakin berat malam itu...
Surabaya, 3 Juli 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar