“Saya bawa dulu ya mbak. Saya mau
ambil gajinya Mbak Min”.
“Oh, yang di kantor lamanya ya?”
“Ya mbak...”
“Semoga sukses ya pak...”
Itulah sepenggal percakapanku
dengan Pak Yudi, suami Mbak Min - seorang petugas kebersihan part-timer di
kantor tempatku bekerja.
Sore itu, Pak Yudi meminjam
motorku untuk pergi melihat lokasi borongan rumah sekaligus mengambil sisa gaji
istrinya yang masih tertahan di tempat kerjanya yang lama. Gaji 6 hari kerja
plus uang lemburan sebagai petugas kebersihan yang sudah 1 tahun lebih tak kunjung
dicairkan oleh majikannya. Jika ditotal berkisar Rp. 600.000,- Tanpa alasan
yang jelas uang itu tidak juga diberikan oleh majikannya padahal Mbak Min sudah
mengundurkan diri sejak Lebaran tahun 2013.
Mbak Min dan suaminya sudah
berulang kali menelepon dan mendatangi rumah majikan dan kantornya untuk
menagih uang haknya, namun selalu diberi janji palsu. Berbagai alasan
dikemukakan seperti daftar absensinya hilang, masih repot, dan berbagai alasan
lainnya. Tak jarang suami Mbak Min sampai marah-marah dan mengancam dengan
harapan sisa gaji istrinya segera diberikan. Namun hasilnya masih tetap nihil. Pernah
mereka bermaksud untuk merelakan uang tersebut saking putus asanya. Namun beberapa
waktu lalu sang majikan mengirimkan SMS yang meminta Mbak Min untuk kembali
bekerja padanya maka sisa gajinya akan diberikan. Merasa jengkel, sejak itu
suami Mbak Min kembali getol menagih hak istrinya.
Keesokan harinya saat bertemu
dengan Mbak Min di ruanganku, aku menanyakan perkembangannya. Katanya
dijanjikan akhir bulan Agustus. Hmmm... aku benar-benar tidak habis pikir. Apa susahnya
memberikan uang itu kepada Mbak Min. Bagi majikan Mbak Min yang mempunyai
sebuah perusahaan besar tentunya uang itu bukanlah nominal yang besar. Tapi
mengapa harus diulur-ulur sampai 1 tahun lebih untuk memberikannya? Sedangkan bagi
seorang petugas kebersihan part-timer seperti Mbak Min yang suaminya seorang
tukang bangunan yang bekerja jika sedang ada garapan, nominal itu sangatlah
besar.
Dengan tanpa beban seorang
majikan tega menahan hak mantan karyawannya padahal mantan karyawannya itu
harus jungkir balik untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dan membiayai
sekolah anaknya. Harus gali lubang tutup lubang mencari pinjaman sana sini. Tak
jarang aku mendengarkan keluh kesah Mbak Min tentang kondisi keuangan
keluarganya. Sementara sang majikan dengan seenaknya tidak mau memberikan uang
yang bisa membuatnya sedikit bernafas lega.
Ya... itulah sebuah contoh nyata
potret ketidakadilan yang terjadi di negeri ini. Si kaya menindas si miskin.
Entah apa alasannya. Apakah si kaya akan langsung jatuh miskin apabila ia
memberikan hak si miskin? Aku rasa tidak. Lalu mengapa si kaya bertindak
sewenang-wenang seperti itu? Entahlah... Mungkin saja hati nuraninya sudah mati
tertimbun kekayaannya.
Jika saja setiap orang di muka
bumi ini memiliki empati dan belas kasih terhadap sesamanya, aku rasa kejadiaan
seperti yang dialami Mbak Min tidak akan terjadi. Ya... seringkali kita menutup
mata, tidak pikir panjang bahkan tidak mau tahu apa dampak dari sikap dan perbuatan
kita terhadap orang lain. Alih-alih membantu meringankan beban penderitaan sesama, terkadang kita justru menambah beban tersebut. Mari kita senantiasa memohon rahmat dari Allah agar memiliki
kasih yang berlimpah untuk sesama. Jika kita tidak mampu membantu sesama kita, setidaknya kita tidak menyakiti mereka.
**Surabaya, 25 Agustus 2014**
Tidak ada komentar:
Posting Komentar