Waktu menunjukkan pukul 03.15 ketika mulai kulangkahkan kakiku dengan pasti
di tengah kegelapan dan udara yang dingin. Semangat yang menggebu dan keinginan
untuk segera sampai di tujuan menjadi penggerak bagi ayunan langkahku. Seorang
teman yang semula berjalan berdampingan denganku mulai tertinggal, dan beberapa
teman yang semula berjalan di depanku satu persatu aku salip. Harapanku hanya satu,
tidak terlambat untuk sampai di tujuan.
Namun semua berlangsung tak begitu lama. Dalam hitungan menit, langkahku
mulai terasa berat dalam meniti jalanan yang terus menanjak. Suara nafas yang
memburu memecah kesunyian dini hari itu. Detak jantung terasa semakin cepat dan
paru-paru mau pecah rasanya. Langkah tegas yang semula terayun mulai kehilangan
energinya. Aku bergerak semakin melambat.
Beberapa kali aku harus berhenti untuk mengatur nafas. Bahkan perut mulai
terasa mual dan aku pun muntah-muntah. Badan pun mulai terasa limbung. Melihat kondisiku,
teman-teman beberapa kali menawarkan kepadaku agar naik ojek saja - seperti
halnya yang dilakukan oleh beberapa orang teman - kalau aku sudah tidak kuat
lagi berjalan, mengingat perjalanan yang harus ditempuh masih sangat jauh.
Namun aku selalu menolak. Aku ingin berhasil berjalan sampai puncak! Maka
dengan terseok-seok pun aku berusaha untuk terus berjalan.
Beberapa teman menemaniku berjalan. Ada yang memberikan minuman. Ada yang
memberikan kue untuk mengisi perut. Ada yang memberikan minyak kayu putih. Ada
yang membawakan tas ranselku untuk mengurangi bebanku. Ada yang menggoda untuk
menghiburku. Ada yang menerangi jalan di hadapanku dengan lampu senter yang
dibawanya.
Aku merasa sudah berjalan begitu lama, namun tujuan belum juga terlihat. Energi
semakin lama semakin terkuras. Kurang tidur selama beberapa hari sebelumnya semakin memperparah kondisiku. Aku mulai berjalan sempoyongan dan beberapa kali
hampir jatuh. Jalanan yang kami lalui pun semakin lama semakin tidak bagus
kondisinya. Mulai dari jalan berpaving/semen, berbatu, berkerikil, tanah keras,
sampai berlumpur dan licin akibat hujan sebelumnya harus kami lewati untuk
dapat mencapai puncak. Beberapa kali aku harus menggandeng tangan teman yang
menemaniku berjalan agar tidak jatuh atau terpeleset. Adalah suatu kegembiraan
tak terkira melihat medan yang datar meski hanya beberapa meter. Begitu pula
saat melihat tempat duduk di tepi jalan meski hanya terbuat dari bambu
seadanya. Aku berjalan melebihi batas waktu normal. Mungkin karena aku berjalan
sangat lambat dan harus berkali-kali berhenti untuk beristirahat. Untung saja
teman-teman sangat telaten menunggui dan menemaniku.
Hari sudah menjelang pagi dan kami baru setengah perjalanan. Harapan untuk
bisa melihat matahari terbit dari puncak pupus sudah. Kami terlambat! Akhirnya
kami memutuskan untuk menyaksikan matahari terbit dan beristirahat sambil
berfoto-foto di portal masuk menuju puncak. Saat sampai di portal, aku merasa
hampir pingsan saja. Aku tak sanggup berdiri sendiri. Aku pun berpegangan dan
bersandar pada bahu seorang teman agar tidak terjatuh. Di kala teman-teman yang
lain antusias untuk berfoto ria, aku merasa begitu lemas dan tak bergairah.
PERJALANAN BELUM USAI!
Masih ada setengah perjalanan lagi yang harus kami tempuh untuk mencapak
puncak. Oh tidak! Aku merasa begitu menderita. Beberapa kali aku mengeluh
kenapa kami belum juga sampai di puncak. Beberapa teman menyemangati bahwa
kurang sedikit lagi, meski toh masih sangat jauh sebenarnya.
Matahari sudah muncul sepenuhnya. Jalanan setapak menuju puncak semakin
ramai oleh pengunjung yang naik ojek. Nampaknya hanya rombongan kami yang
memilih untuk berjalan kaki. Beberapa tukang ojek terus menawarkan kepada kami
untuk naik ojek karena perjalanan masih jauh. Namun aku bersikeras untuk tetap
meneruskan perjalanan dengan berjalan kaki bersama teman-teman.
Setengah perjalanan kali ini pun tidak mudah. Saat melewati jalan setapak
yang rusak dan cukup sempit dengan jurang di salah satu sisinya, sering kami
harus berhenti untuk memberi jalan kepada ojek-ojek yang hilir mudik. Jika
tidak, kami bisa dengan mudahnya tertabrak atau terserempet. Sekali terjadi
padaku, aku tersenggol ojek yang lewat karena aku terlambat untuk berpindah
jalur. Nyaris saja aku terdorong masuk ke dalam jurang karena aku berdiri hanya
beberapa sentimeter dari tepi jurang.
PUNCAK SUDAH NAMPAK!
Matahari sudah semakin terik bersinar ketika puncak sudah nampak. Dari
bawah nampak tenda berwarna-warni milik para pengunjung yang berkemah di
puncak. Lega rasanya. Namun tak lama
kemudian aku mulai shock melihat kemiringan
45 derajat jalanan yang ada di depanku yang harus dilalui untuk mencapai puncak.
Sebenarnya ada jalan alternatif yang lebih landai namun harus jauh memutar. Aku
tidak sanggup lagi rasanya untuk menempuh jalan kedua. Namun untuk menempuh
jalan pintas aku takut.
Akhirnya seorang teman mendorongku agar aku lebih mudah naik, dan seorang
teman yang lain menarik dari atas. Kurang beberapa langkah lagi untuk sampai
puncak namun aku berhenti sejenak untuk mengatur nafas dan membungkuk untuk
meregangkan otot pinggul yang terasa sakit. Tak lama kemudian seorang teman
mendorongku dari belakang sampai puncak. Dan akhirnya AKU BERHASIL SAMPAI
PUNCAK! Ingin rasanya berteriak sekencang-kencangnya untuk meluapkan kegembiraan
yang luar biasa saat itu, namun karena ramai pengunjung maka aku mengurungkan
niatku. Keberhasilan menyelesaikan perjalanan hingga sampai puncak menimbulkan suatu
sensasi tersendiri yang tak terkatakan.
Akhirnya kami bersama-sama menikmati pemandangan indah yang terlihat dari
puncak dan mengabadikannya. Ketika dirasa sudah cukup, kami pun mengisi perut
dengan makan gorengan dan minum minuman panas yang tersedia di warung yang ada
di puncak.
PERJUANGAN BELUM BERAKHIR!
Waktu menunjukkan pukul 09.15 saat kami memutuskan untuk turun dari puncak.
Beberapa teman menawarkan kepadaku untuk naik ojek tapi aku kembali menolak. Kesenangan
sesaat di puncak berganti menjadi ‘penderitaan’. Perjuangan yang tak kalah
beratnya bagiku untuk melakukan perjalanan turun menuju parkiran mobil. Rasa
lelah dan sakit yang tersisa akibat perjalanan berangkat harus ditambah lagi
dengan rasa lelah dan sakit yang muncul dalam sepanjang perjalanan pulang.
Jalanan yang menurun membuat kedua pergelangan kaki dan kedua jempol kakiku
menjadi sakit akibat menahan berat tubuh dan bergesekan dengan sandal gunung
yang kupakai. Kaos kaki tebal yang membalut kakiku hanya dapat mencegah dari
lecet, namun tetap terasa sakit yang luar biasa.
Di tengah teriknya sengatan sinar matahari, aku berjalan terseok-seok,
tertatih-tatih, kadang terpeleset, dan berulang kali harus berhenti untuk membungkukkan
badan untuk melemaskan otot pinggul, pantat, dan sekujur kakiku yang sakit. Pada
jalanan yang berkerikil dan licin, aku menggandeng tangan teman yang berjalan
di dekatku karena takut tergelincir. Berkali-kali aku mengeluh kepadanya.
Rasa sakit yang terasa semakin tak tertahankan dan tujuan (tempat parkir
mobil) yang tak kunjung terlihat membuat aku mulai putus asa dan beberapa kali
berpikir untuk naik ojek saja karena tak sanggup lagi meneruskan berjalan kaki.
Namun beberapa kali pula kuurungkan niatku. Selain aku ingin berhasil berjalan
kaki sampai tujuan, aku juga takut untuk naik ojek. Hal ini dikarenakan medan
yang dilewati mirip medan rally motor. Tak jarang aku melihat ojek-ojek itu
susah payah melewati jalanan yang rusak dan hampir terjatuh. Bahkan beberapa
ojek melintas hanya beberapa sentimeter dari bibir jurang. Beberapa kali aku
sampai histeris sendiri melihatnya. Lebih baik aku berjalan kaki saja meski
lama tapi aman daripada terjatuh dari motor atau terjatuh ke dalam jurang.
Itulah pertimbanganku.
Aku berjalan semakin lambat, semakin sering berhenti untuk beristirahat, dan
akhirnya mulai tertinggal. Teman-teman yang semula berjalan bersama-sama denganku,
semakin tersisa sedikit karena mereka sudah berjalan di depan. Jarak diantara
kami pun semakin menjauh dan akhirnya mereka tak terlihat lagi oleh pandangan
mataku.
Perlahan tapi pasti tetap kuayunkan langkahku. Penantian yang terasa sangat
panjaaaaaannggg kurasakan. Hingga akhirnya aku melihat 2 mobil yang membawa
kami nampak beberapa ratus meter di depanku. Aku girang tak karuan. Ketika
sampai di tujuan, sebagian besar teman-teman sudah duduk beristirahat di teras
sebuah rumah penduduk. Ketika aku sampai mereka pun bersorak menyambutku. Aku
berhasil!!!
***
Keberhasilan menempuh perjalanan ke puncak B-29 pada hari itu, 22 Maret
2015, merupakan suatu kebanggaan bagiku. Pengalaman pertama dan takkan
terlupakan. Bagiku, perjalanan menaklukkan bukit setinggi 2900 mdpl itu bukan
sekedar sebuah perjalanan biasa, melainkan sebuah perjuangan yang sarat akan
refleksi.
Di sepanjang perjalanan, aku sempat merefleksikan makna perjalanan yang
sedang kutempuh. Bagiku, perjalanan itu seperti halnya perjalanan dan
perjuangan hidup. Jalanan adalah jalan hidup. Berjalan kaki adalah usaha normal
yang dilakukan dalam mencapai tujuan. Naik ojek adalah jalan pintas yang
dilakukan dalam mencapai tujuan. Puncak B-29 dan tempat parkir adalah tujuan
hidup. Teman-teman seperjalanan adalah teman-teman di sekeliling kita. Para
pengunjung yang lain adalah orang-orang di sekitar kita. Kue, minuman, minyak
kayu putih, dan penerangan adalah perhatian dari orang lain.
Ada kalanya perjalanan hidup kita terasa mudah karena jalannya datar dan
rata, namun tak jarang kita harus melewati jalan menanjak yang membuat kita ‘ngos-ngosan’ dan merasa lelah dengan
hidup ini. Tak jarang jalan hidup kita juga berkerikil atau berbatu yang
membuat kita tergelincir dan tersandung, atau jalan berlumpur yang membuat kita
terpeleset dan terperosok.
Mungkin seringkali kita merasa tujuan hidup kita tidak juga terlihat dan
tercapai. Kita sudah melakukan segala usaha untuk meraihnya, namun penantian
tak kunjung berakhir. Pada akhirnya kita merasa putus asa dan ingin berhenti
saja, kembali, atau menempuh jalan pintas.
Dalam perjalanan hidup kita ada kalanya kita merasa mampu dan bersemangat
untuk berjalan dengan cepat. Namun ada kalanya saat semuanya terasa begitu
berat dan melelahkan, kita harus berhenti sejenak untuk mengatur ritme nafas dan
memulihkan energi. Dan dalam perjuangan hidup kita itu, kita senantiasa membutuhkan
kehadiran orang lain. Disaat kita lelah, kita membutuhkan teman yang rela
diajak berbagi beban untuk meringankan beban kita, juga memberikan
perhatian-perhatian sederhana namun sangat berarti. Disaat kita putus asa, kita
membutuhkan teman yang senantiasa menghibur, memberi semangat, dan menguatkan.
Disaat kita tak sanggup lagi berjalan, kita membutuhkan teman yang menarik dan
mendorong kita untuk terus maju. Disaat kita tak sanggup berdiri sendiri dan hampir
terjatuh, kita membutuhkan teman yang menggandeng dan menjadi tempat kita
bersandar.
Ada kalanya kita melihat orang-orang di sekitar kita dapat dengan mudahnya
mencapai tujuan yang diinginkan, namun tidak halnya dengan kita. Kita harus
jatuh bangun berkali-kali. Bahkan mungkin banyak orang-orang di sekeliling kita
yang menggunakan jalan pintas untuk meraih tujuan, dan seringkali kita
mempertimbangkan untuk melakukan hal yang sama. Bisa jadi beberapa dari kita
tergoda untuk melakukannya dengan harapan segera meraih yang diharapkan, namun
ada juga yang tidak tergoda karena takut dengan segala konsekuensinya yang
lebih buruk. Ada kalanya kita berada di depan teman-teman kita, namun pada
akhirnya kita tersalip dan tertinggal jauh di belakang mereka.
***
Pemandangan di sepanjang perjalanan menuju puncak B-29 sangatlah indah.
Namun karena aku fokus dengan sulitnya perjalananku, aku jadi tidak menyadari
dan tidak menikmatinya. Aku terlalu sibuk merasakan rasa lelah dan sakit yang
kurasakan. Aku terlalu sibuk mengeluh dan melihat ke depan untuk mencari-cari
keberadaan puncak. Aku terlalu sibuk menunduk untuk memperhatikan langkah kakiku sendiri dan jalanan yang harus aku lalui. Aku menyesal terlambat menyadarinya dan telah melewatkan
banyak momen indah itu.
Demikian halnya dengan hidupku selama ini. Disaat perjalanan hidup
kurasakan semakin berat dan aku tak juga menemukan tujuan hidupku, aku hanya
berfokus pada pergulatan, kesedihan, keputusasaan, dan segala hal yang tidak
mengenakkan yang kurasakan. Aku kurang bisa menyadari, menikmati, dan
mensyukuri segala hal baik dan indah yang dianugerahkan Tuhan kepadaku. Kesehatan
yang baik, tempat tinggal yang nyaman, pekerjaan yang layak, keluarga yang
menyayangi, teman-teman yang baik, segala kenyamanan dan kemudahan fasilitas yang
kumiliki, perjalanan dan pengalaman seru dan menyenangkan bersama teman-teman,
dan masih banyak lagi. Sesungguhnya aku sangat beruntung dapat menikmati semua
itu sementara ada orang-orang yang tidak bisa menikmatinya.
Beberapa waktu terakhir ini, aku mengalami perjalanan yang sangat berat
dalam pekerjaanku. Aku tidak tahu apakah aku akan dapat bertahan dan berhasil mencapai
garis finish dengan selamat seperti halnya perjalanan dan perjuanganku ke
puncak B-29. Namun satu hal yang pasti, aku merasakan penyertaan Tuhan melalui orang-orang
di sekelilingku yang terus menemani, membantu,
menghibur, menyemangati, dan mendorongku disaat aku merasa tak sanggup lagi
untuk bertahan. Seandainya pun aku tidak berhasil memenangkan ‘peperangan’ ini,
aku tetap bersyukur memiliki teman-teman seperjalanan yang menemaniku dalam
perjuangan. Memang tidak mudah, namun aku berusaha mengingatkan diriku sendiri akan
pengalaman perjalanan ke puncak B-29 dan berusaha senantiasa ‘menyadari,
melihat, menikmati, dan mensyukuri pemandangan indah yang terhampar di
sepanjang perjalananku menuju puncak’.
(Tulisan ini kupersembahkan untuk
orang-orang yang telah setia menjadi teman seperjalananku).
** Surabaya, 11 April 2015 **
Tidak ada komentar:
Posting Komentar