Pagi tadi aku
sedang mempersiapkan sarapan dan bekal makan siangku ketika tetangga kamarku
bertanya,”Itu ada yang meninggal ya?”
Aku terkejut dan segera menuju ke
balkon untuk melongok ke depan rumah. Di sebuah rumah yang berada tepat di
seberang kos-kosanku terlihat banyak orang pria dan wanita, sebagian duduk di
teras dan sebagian lagi berdiri di depan rumah di tepi jalan seperti sedang
mendiskusikan sesuatu. Beberapa sepeda motor nampak terparkir di depan kos.
Pikiranku langsung tertuju pada seorang ibu penjahit penghuni rumah itu.
Selang beberapa waktu kemudian
aku pun mencari jawaban pada Mbak Yahni, asisten rumah tangga di kos tempat aku
tinggal. Mbak Yahni mengiyakan bahwa ibu penjahit itu yang meninggal. Dia
bercerita bahwa nampaknya si ibu meninggal sejak malam minggu kemarin, karena
sabtu siang adalah terakhir kalinya ibu itu terlihat. Sejak saat itu lampu
rumahnya terlihat terus menyala dan pintu pagar terus terkunci. Beberapa orang
tamu nampak mengetuk-ngetuk pintu pagar namun tak ada respon. Semua orang
mengira bahwa si ibu sedang pergi mengunjungi rumah anaknya seperti biasanya.
Selama ini si ibu nampak sehat-sehat saja. Saat ditemukan oleh satu-satunya anak
kosnya yang baru saja datang dari mudik, jenasah si ibu yang tergeletak di
lantai sudah berbau.
Aku teringat beberapa hari
yang lalu Mbak Yahni bercerita kepadaku soal kejengkelannya terhadap si ibu
itu. Selama ini Mbak Yahni dan Mbak War – asisten rumah tangga kos tetangga - belajar
menjahit di rumah si ibu. Ketika sudah cukup mahir, mereka berdua sering
dimintai bantuan oleh si ibu untuk menyelesaikan pesanan jahitannya dan
dijanjikan upah. Mereka berdua sangat antusias menyambut tawaran itu. Namun
ternyata upah yang diberikan tidak sebanding dengan waktu dan kerja keras yang
telah diberikan oleh mereka berdua. Untuk sepotong pakaian, upah yang diberikan
hanya Rp. 5.000,- padahal ongkos jahitan yang ditarik oleh si ibu kepada
pelanggan sebesar Rp. 100.000,- lebih.
Bahkan pernah karena terlambat makan
gara-gara ngebut menyelesaikan
jahitan di rumah si ibu, Mbak War sampai sakit maag dan harus membayar biaya
suntik Rp. 50.000,-, namun hanya mendapatkan Rp. 5.000,- sebagai upah jahitan
yang sudah diselesaikannya. Rupanya si ibu itu terkenal pelit selama ini.
Banyak karyawannya yang berhenti karena alasan itu. Dan sejak kejengkelan yang
memuncak itu akhirnya Mbak Yahni dan Mbak War tidak pernah lagi datang membantu
si ibu meski beberapa kali dipanggil untuk datang. Mereka kecewa.
Dalam perjalanan menuju tempat
kerja, aku merenung.
Betapa tidak ada yang menyangka umur
manusia. Sewaktu-waktu ajal siap menjemput meski kita dalam keadaan segar bugar
sekalipun. Saat harus berpulang, si ibu belum berdamai dengan Mbak Yahni dan
Mbak War. Ia pergi dengan menyisakan kejengkelan di hati mereka. Bahkan mungkin
juga dengan beberapa karyawannya yang lain.
Apakah jiwa si ibu yang menyesali
kenapa semasa hidup dia meninggalkan kekecewaan di hati orang-orang di sekelilingnya?
Ataukah Mbak Yahni dan Mbak War yang merasa menyesal karena sudah menjauhi si ibu
gara-gara kekecewaan dan kejengkelan mereka, bahkan sampai si ibu berpulang?
Aku bertanya pada diriku sendiri.
Saat aku dipanggil menghadap Sang Empunya Hidup ini kelak, apakah aku yang akan
merasa menyesal karena semasa hidupku menyisakan kekecewaan, kejengkelan, amarah, sakit hati dan
semua hal buruk lainnya di hati orang-orang di sekelilingku? Ataukah
orang-orang yang akan menyesali kepergianku?
Satu hal yang pasti… aku tidak
ingin memiliki penyesalan yang terlambat…
Surabaya, 26 Mei 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar