Berkali-kali kulirik jam tangan
ungu yang melingkar di pergelangan tangan kiriku. Tidak ada tanda-tanda
teman-teman beranjak dari kursinya, sedangkan cacing-cacing di perutku mulai
menuntut jatahnya. Pun tak ada tanda-tanda rintik hujan akan segera berhenti. Waktu
menunjukkan pukul 12.30 saat kubuka suaraku dan mengajak teman-teman untuk
segera mengisi perut. Kuraih sebuah payung merah berukuran besar yang ada di
sudut ruang tamu dan akhirnya kami bertiga berjalan kaki menuju ke warung Bu
Mun.
Warung langganan teman-teman yang
hanya berjarak sekitar 30 meter dari kantor sekretariat ini tak pernah sepi,
terutama pada jam makan siang. Terlambat sedikit saja, menunya sudah tak
lengkap lagi. Menu yang disajikan sangat sederhana. Menyesuaikan dengan kantong
para pelanggannya yang sebagian besar berkantong tidak tebal. Saat kami tiba di
sana nampak beberapa pria berpakaian sederhana sudah duduk di bangku sambil
menunggu pesanan.
Siang itu menu yang dijual adalah
sayur sop, pecel dan sayur lodeh, namun hanya tersisa pecel dan sayur lodeh
untuk kami. Tak lama setelah kami duduk di bangku kayu panjang ala kadarnya dan
tanpa sandaran, datang seorang bapak tua. Sesaat hanya berdiri dalam diam.
Mungkin dia sedang berpikir akan duduk di mana, melihat semua bangku telah
terisi. Ketika aku beranjak dari tempat dudukku untuk memilih lauk, bapak tua
itu telah menempati bangkuku. Akhirnya aku duduk menyelip di antara bapak tua
itu dan temanku. Untung saja masih ada space
untuk tubuhku yang terhitung tidak lebar ini.
Saat menunggu pesanan kami
dibuatkan, seorang pelanggan yang duduk sebangku dengan temanku yang satu lagi telah
selesai makan dan beranjak pergi. Akhirnya bapak tua tadi berpindah tempat dari
sebelahku ke sebelah temanku. Tak lama setelah bapak tua itu pindah tempat, Bu
Mun si pemilik warung berkata kepadanya, “Sop e entek, lodeh ae yo.” Dari
cara komunikasi mereka, aku menangkap bahwa bapak tua itu merupakan pelanggan
lama.
Akhirnya pesananku datang, sayur
lodeh plus telur dadar beserta es milo. Aku yang semula sudah kelaparan, saat
itu makan dengan kurang berselera dikarenakan kuah lodeh yang minim dan terasa
agak hambar bagi lidahku. Potongan sayur manisanya pun tak lebih dari 10 iris. Tidak
sesuai harapan, tapi mau gimana lagi,
kupaksakan geligiku untuk mengunyah dan kerongkonganku untuk menelan.
Sembari berjuang menghabiskan
makananku, berkali-kali mataku curi-curi pandang ke bapak tua yang tadi.
Kuamati gerak geriknya dan cara makannya. Tangannya memegang sendok dengan gemetaran.
Ia makan dengan cepat. Suapan demi suapan ia jejalkan ke dalam mulutnya meski
mulutnya masih penuh dengan nasi yang belum tertelan. Butiran nasi nampak
tercecer di sekitaran piringnya.
Usai melahap habis nasi di piringnya,
bapak tua itu segera menenggak teh manis hangatnya. Tak lama kemudian, temanku
yang duduk di sampingnya mengajaknya ngobrol.
Sambil berkutat dengan nasiku yang tak kunjung habis, aku mendengarkan mereka
bertanya jawab. Rupanya bapak tua itu berprofesi sebagai penarik becak dengan
penghasilan yang tak tentu. Makin lama makin sepi penumpang karena orang lebih
memilih memakai jasa ojek online
daripada jasa kayuhnya. Setelah menghabiskan isi gelasnya, bapak tua itu
mengulurkan selembar uang 10 ribuan ke Bu Mun dan segera meninggalkan warung.
Sepeninggalnya, Bu Mun bercerita
tentang bapak tua itu. Namanya Samad. Usianya berkisar antara 60 sampai 70
tahun. Sudah tiga hari ini tidak mendapatkan penumpang sama sekali.
Aku bertanya-tanya, kalau sudah
tiga hari tak mendapatkan penghasilan, dari mana ia mendapatkan uang untuk beli
makan? Rupanya kalau malam ia bekerja sebagai penjaga di Jalan Krakatau, seruas
jalan di kawasan perumahan, dengan upah bulanan. Namun fisik yang sudah renta membuatnya
tidak dapak maksimal dalam melakukan tugas. Saat terjadi pencurian, pria
berwajah sendu ini tak mampu berbuat apa-apa.
Semenjak ditinggal mati istrinya,
pria asal Rengel – Tuban ini sehari-hari tinggal di jalan, karena tidak
memiliki tempat tinggal. Anak tiri satu-satunya tidak mau menerimanya dan tidak
mau mengunjunginya.
Saat kelaparan, tubuh pria berperawakan
kurus ini akan gemetaran. Semakin lama ia menahan lapar, semakin kuat getarannya.
“Pegang gelas sampai tumpah-tumpah isinya. Pegang sendok sampai bercereran
nasinya,” cerita suami Bu Mun.
Akhirnya aku menemukan penjelasan
mengapa tadi kulihat Pak Samad memegang sendok dengan gemetaran. Bu Mun yang
jatuh iba dengan kondisi laki-laki berkulit gelap ini seringkali menawarkan
padanya untuk makan dulu di warungnya meski belum punya uang. Namun rupanya
laki-laki yang tak banyak bicara ini merasa sungkan dan lebih memilih menahan
lapar.
Mendengar kisah Pak Samad dari
pemilik warung dan suaminya, aku merasa trenyuh dan tertampar. Untuk dapat membeli
sepiring makanan dan segelas minuman dengan harga Rp. 10.000,- saja Pak Samad harus
menunggu berhari-hari. Sedangkan aku ogah-ogahan menyantap makananku.
Setelah membayar makanan kami,
kami bertiga pun beranjak meninggalkan warung. Seperti langit masih menyisakan
butir-butir halus air yang mengiringi langkah kami kembali ke kantor sekretariat,
demikian juga kisah dan pergulatan hidup Pak Samad menyisakan kegelisahan dalam
hatiku.
Surabaya, 9 Maret 2018
*foto: koleksi google
Terus menulis ya,jgn merasa lelah menjadi relawan.
BalasHapusTerima kasih semangatnya :)
Hapus