Makan satu kali dalam satu hari hanya pada siang hari. No ngemil.
Hanya minum air putih, tidak yang berasa dan berwarna. Itu tekad yang aku ambil
selama hari-hari pantang dan puasa dalam masa Retret Agung Prapaskah ini. Bukan
pantang daging, karena aku sudah sering nggak makan daging. Itu terlalu mudah
buatku. Maklum, nasib anak kos hehehehe… Wah kok jadi curcol. Setiap hari aku
nggak bisa kalau nggak ngemil, maka aku ambil tantangan itu.
Hari pertama pantang dan puasa adalah pada hari ini, kami
umat Katolik menyebutnya Hari Rabu Abu. Kemarin malam sebelum tidur aku mengingatkan
diriku sendiri, besok pagi puasa, nggak usah masak. Bangun tidur pagi hari ini
juga kembali kuingatkan diriku sendiri, pagi ini nggak usah sarapan. Takut aja
kalau tiba-tiba tangan ini otomatis meraih camilan yang sudah ready nangkring
di atas meja hehehehe…
Sampai siang hari situasi masih terkendali hingga waktunya
buka puasa tepat pada jam makan siang. Menjelang sore pertahanan mulai goyah. Melihat
postingan foto makanan yang berseliweran di grup WhatsApp dan beranda Facebook
rasanya begitu menderita. Nggak berani menatap lama-lama. Menjelang malam,
fisik mulai berontak. Perut keroncongan dan kembung. Kepala senut-senut. Aku kelaparan,
bro and sis…huhuhuhu. Entah mengapa puasa kali ini terasa berat tidak seperti
biasanya.
Aku hibur saja lambungku dengan minum air putih. Aku alihkan
perhatianku dengan menyibukkan diri dengan ponsel pintarku. Rasa kantuk tak
juga datang. Ahhh…
Berbaring saja aku di pembaringan. Menikmati rasa lapar dan
efek sampingnya sambil merenung. Inikah yang dinamakan menahan diri? Mengalahkan
diri sendiri?
Tiba-tiba aku terhenyak. Begini rupanya rasanya orang
kelaparan. Belum 24 jam saja rasanya seperti ini. Bagaimana kalau sampai
berhari-hari?
Ya!!!
Dengan pantang dan puasa kita tidak hanya diajak untuk menaklukkan
diri sendiri, mengalahkan hawa nafsu. Tapi juga mengasah kepekaan dan
kepedulian kita terhadap sesama yang kurang beruntung. Yang untuk makan saja
sulit. Dengan pantang dan puasa kita diajak untuk bisa lebih empati dan solider
terhadap penderitaan sesama.
Kalau biasanya kita begitu mudah membuang-buang makanan dan rela merogoh kocek dalam-dalam untuk membeli makanan dan barang mewah yang super mahal,
bagaimana dengan mereka yang sampai mati kelaparan? Ironis bukan? Ini tragedi kemanusiaan menurutku!!!
Memang itu uang kita sendiri dan kita berhak
membelanjakannya sesuka kita. Namun bagaimana tanggung jawab moral kita
terhadap sesama makhluk ciptaan Allah?
Terima kasih perut keroncongan!!! Terima kasih kepala
senut-senut!!! Terima kasih rasa lapar!!!
Terima kasih puasa empati. Terima kasih puasa solider.
Surabaya, 6 Maret 2019
Hari Rabu Abu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar