Mama adalah payung keluarga. Kalimat
itu pertama kali kudengar dari adik perempuan mama saat menasehati aku tak lama
setelah mama berpulang ke Sang Empunya Hidup.
Aku percaya saja dengan yang
diucapkan bibiku itu meski belum 100 persen mencerna apa yang dimaksud.
Mengapa? Karena diucapkan oleh seorang anak yang sudah merasakan ditinggal
pergi ibunya untuk selama-lamanya.
Tak butuh waktu lama untuk membuktikan
kalimat itu. Sepeninggalnya mama, biduk keluarga kami mulai goyah. Ibarat puzzle
yang sudah tersusun lalu jatuh ke lantai hingga terserak berkeping-keping. Setidaknya
itu yang kurasakan sebagai anak bungsu, satu-satunya anak mama yang masih
bertahan dalam kesendirian.
Mama adalah sosok tulang punggung
di keluarga kami. Selama ini beliau yang mengendalikan laju bahtera keluarga
kami. Dari segi ekonomi, mama berjuang mati-matian menghidupkan ekonomi
keluarga. Memutar otak demi semua anaknya dapat mengenyam bangku kuliah. Merajut
tenun perekonomian keluarga, tentunya dengan bantuan dari berbagai pihak dalam
keluarga besar mama.
Masa kecil aku habiskan di dalam
rumah berlantai semen biasa yang sebagian tembok sisi belakangnya berkawat
ayam, beserta pagar bambu dengan lubang di sana-sini mengitari halaman rumah
kami. Namun saat remaja, aku bisa menikmati rumah yang lebih luas berlantai
keramik yang 100 persen dindingnya berupa tembok, serta 100 persen pagar
rumahku berwujud tembok.
Dari cerita para bibiku
sepeninggal mamaku, sedikit demi sedikit kisah jatuh bangun dan kisah pilu mamaku terkuak. Bagaimana
mamaku berusaha memberikan yang terbaik untuk anak-anaknya, meski semakin ke
belakang kondisi keuangan mulai menurun. Selalu berusaha membantu perekonomian
anak-anaknya meski diri sendiri tidak berlebihan. Diam-diam berusaha menyiapkan aset untuk diwariskan pada anak-anaknya sebagai bekal di masa depan mereka, meski dengan susah payah dan tertatih-tatih. Meski harus menghadapi banyak hujatan bahkan dari buah rahimnya sendiri. Sungguh, kasih dan hati ibu seluas semesta.
Setelah kepergian mama, aku
merasa pontang-panting. Ternyata tidak mudah mengurus keluarga. Papa terpaksa
tinggal di rumah usiawan, toko usaha keluarga terpaksa ditutup, dan rumah
keluarga di desa akhirnya kosong tak terurus. Papa yang selama hidupnya banyak
bergantung pada mama, sepeninggalnya mama menjadi down, tak sanggup mengurus
dirinya sendiri dengan layak.
Seiring dengan waktu, bayangan dan
kenangan akan mama bukan semakin memudar, melainkan justru menguat. Semenjak kepergian
mama, tak berani aku memandangi foto mama terlalu lama. Tak sanggup
mendengarkan lagu-lagu mandarin kenangan. Tak kuasa membaca dan menonton video
atau film yang mengisahkan tentang sosok ibu. Semuanya itu membawa ingatanku
terbang ke sosok perempuan yang melahirkanku.
Hatiku hancur. Setiap kali teringat akan mama, air mata tak
lagi dapat terbendung. Terlebih mengingat saat-saat terakhir mama di ICU dengan
tangan terikat dan berbagai selang memasuki tubuhnya.
Semua bayang-bayang itu berusaha aku tepis jauh-jauh agar aku tetap tegar. Namun sia-sia. Begitu banyak malam aku lewati dengan berurai air mata. Meringkuk di sudut pembaringan sambil berseru dalam hati, "Tuhan, aku kangen mama."
Kini yang tersisa hanya
penyesalan. Mengapa dulu aku tak memanfaatkan waktu sebaik mungkin saat mama
masih dapat kusentuh dan kudekap. Mengapa aku dulu sibuk dengan urusan dan
kesenanganku sendiri. Mengapa aku dulu begitu cuek dan dingin. Kini, sudah 1000
hari lebih aku hanya bisa memeluk sosok tanpa wujud. Hanya bisa bertemu dalam
mimpi.
Meski dulu kami sering tidak
sependapat. Meski dulu kami sering bersitegang. Namun selalu ada pijakan yang
siap menopang kakiku. Selalu ada rumah yang menerimaku pulang saat aku lelah. Selalu ada sosok malaikat pelindung yang pasti
menjagaku meski dari jauh. Selalu ada payung tempatku bernaung di tengah hujan
badai.
Kini, payung itu telah direnggut
dariku. Dari keluargaku. Sekarang kami basah dan kedinginan. Sepi. Hampa.
Mama, aku rindu. Jika waktu bisa
diulang, aku ingin menebus semua waktu yang telah terhilang. Jika waktu bisa
diputar kembali, aku ingin menikmati kebersamaan kita.
*** Catatan sebuah hati ***
Surabaya, 17 September 2019
Tidak ada komentar:
Posting Komentar