Saya bukanlah orang yang
tergila-gila nonton film di bioskop. Saya bahkan tidak pernah tahu film-film
terbaru yang sedang diputar di bioskop dan saya pun tidak berminat untuk
mencari tahu. Selama hidup ini, frekuensi saya nonton film di bioskop tidak
lebih dari 40 kali. Inisiatif nonton itu pun sangat jarang datang dari diri
saya sendiri. Kebanyakan karena diajak teman. Karena alasan menjalin
silaturahmi dan demi kebersamaan, saya mengiyakan ajakan itu.
Maka jangan tanya saya
perbandingan nonton di bioskop A dan B, manakah yang lebih nyaman? Bagi saya
semua sama saja. Yang terpenting bagi saya bukan soal kualitas suaranya, ukuran
layarnya, luas atau sempit ruangannya, melainkan duduk di deretan mana dan
harganya bersahabat atau tidak dengan kantong hehehehe… Lha wong nonton film
lama di layar ponsel saja saya bisa menikmati kok. Yang penting bukan film
horor.
Amat sangat jarang saya merasa
antusias ingin menonton film tertentu. Seingat saya, film yang pernah membuat saya
antusias ingin menonton di bioskop adalah film Everest. Kenapa coba? Karena saat
itu saya sedang berada dalam masa-masa jatuh cinta dengan yang namanya hiking
di gunung. Lalu film yang kedua adalah Joker. Namun antusiasme itu tidak langsung
muncul begitu saja ketika mengetahui bahwa film Joker tayang.
Pertama kali saya mengetahui
diputarnya film Joker dari beranda Facebook. Maraknya postingan meme dengan
topik Joker dan beberapa ulasan serta komentar tentang film Joker tidak juga memikat
hati saya. Terlebih beberapa yang bernada negatif membuat saya makin tidak
tertarik dengan film itu. Sampai akhirnya saya membaca satu ulasan dari
seseorang (saya lupa namanya) yang membuat saya tergelitik. Dari ulasan itu
saya menangkap bahwa dari film Joker yang sarat dengan adegan kekerasan, ada
sesuatu yang bisa saya pelajari. Dari situlah antusiasme saya muncul. Penasaran.
Tapi juga takut. Kuatir kalau-kalau film itu membawa pengaruh buruk buat saya. Namun
rupanya kekepoan saya lebih besar. Gayung pun bersambut. Beberapa teman yang
lain juga berminat untuk nonton dan jadilah kami bertiga nonton tadi malam.
Perasaan sedih menggelayuti hati
saya selama nonton film ini. Saya dibuat bisa merasakan kegetiran hidup tokoh
utama. Bahkan hingga keluar dari ruang bioskop pun hati saya terasa penuh sesak
seperti ada sesuatu yang mengganjal. Seperti gagal move on. Perasaan dan
pikiran saya terusik oleh kesadaran bahwa inilah yang sering terjadi dalam kehidupan
nyata masyarakat kita. Terkadang saya adalah Joker di kehidupan sehari-hari. Namun
seringkali saya adalah orang-orang yang ada di kehidupan Joker. Baik itu ibunya, atasannya, teman kerjanya, tetangganya, maupun siapa saja yang bersentuhan secara langsung dan tidak langsung dengan kehidupannya.
Saya bukan seorang ahli psikologi
atau pun pakar pengulas film. Apa yang saya ingin tulis di sini adalah refleksi
saya pribadi. Hal-hal yang bisa saya pelajari dari film yang banyak mendapat
komentar miring dari netizen. Sebagai pengingat bagi diri sendiri. Syukur-syukur
kalau juga bermanfaat bagi teman-teman yang lain.
Arthur alias Joker, tokoh utama
dalam film ini, digambarkan sebagai sosok penderita gangguan mental. Merupakan anak
adopsi dari seorang perempuan yang juga terganggu mentalnya. Saat kecil pernah
menjadi korban kekerasan dari pacar ibu angkatnya dan ibu angkatnya melakukan
pembiaran terhadap hal ini. Saat dewasa hidup dalam kemiskinan di lingkungan
yang penuh dengan kekerasan verbal dan fisik. Sang ibu menjulukinya "Happy", mengharapkannya
selalu tersenyum dan membuat orang lain tersenyum. Namun perjalanan hidupnya
yang diwarnai dengan kepahitan demi kepahitan secara terus menerus membuatnya
tidak pernah merasa bahagia. Sangat bertolak belakang dengan nama julukannya.
Arthur sebenarnya merasa ada yang
salah dengan dirinya dan punya keinginan untuk sembuh. Rutin melakukan konsultasi
dengan psikiater dan rutin minum obat. Namun sistim yang tidak berpihak pada masyarakat
lemah, membuat Arthur kehilangan kesempatan mendapatkan perhatian dan
pertolongan. Layanan terapi gratis dihentikan oleh pemerintah. Arthur kehilangan
seseorang yang mau mendengarkan cerita-cerita dan kegelisahannya. Kehilangan
teman bicara. Dia merasa semakin sendirian dan kesepian. Tidak ada lagi orang
yang mau mengerti akan kondisinya. Dia kehilangan satu-satunya penolongnya.
Meski terganggu mentalnya dan terseok-seok
dalam menjalani kehidupan, Joker berusaha sekuat tenaga untuk hidup normal. Memiliki
pekerjaan yang oleh sebagian orang dipandang rendahan, untuk bertahan hidup. Menyayangi
dan merawat ibunya yang jompo.
Sosok Arthur, seorang badut
sewaan yang tugasnya menghibur orang lain, sebenarnya banyak kita temukan dalam
kehidupan nyata masyarakat kita. Mewakili pribadi yang tidak pernah
diperhitungkan dan selalu diremehkan karena status sosialnya. Mewakili mereka
yang tidak pernah didengarkan. Mewakili mereka yang tidak mendapatkan
kepercayaan. Mewakili mereka yang difitnah. Mewakili mereka yang tidak dimengerti
impian dan kondisinya. Mewakili mereka yang tidak pernah diperdulikan
perasaannya. Hanya dituntut untuk bisa ini itu tanpa diajak bicara. Dipermainkan
demi kesenangan orang-orang yang tidak memiliki empati. Tidak perduli apakah
ucapan, sikap dan tindakan itu menyakiti orang lain. Tidak perduli apakah yang dibully
itu pernah memiliki pengalaman traumatis atau pengalaman buruk.
Kita tidak pernah tahu seberapa
kelam dan seberapa berat kehidupan seseorang. Hanya karena orang itu terlihat baik-baik
saja secara fisik bukan berarti dia baik-baik saja secara psikologis. Kalau dia
terlihat tegar dan ceria, bukan jaminan 100% bahwa hidupnya bahagia dan
baik-baik saja. Bisa jadi karena itulah yang dituntut darinya. Bisa jadi itu yang
harus diperankannya demi bertahan hidup. Kita tidak pernah tahu badai demi
badai yang sudah dilaluinya. Kita tidak pernah tahu seberapa rapuh sebenarnya
dia.
Dari film Joker saya belajar
bahwa penting untuk memberikan orang lain kesempatan. Kesempatan untuk
didengarkan. Kesempatan untuk dimengerti kondisinya. Kesempatan untuk dipercaya
pembelaannya. Kesempatan untuk membuktikan kemampuannya. Kesempatan untuk
mewujudkan impiannya. Kesempatan untuk diakui bahwa ia ada.
Saya juga belajar bahwa penting
untuk berempati. Kalau saya berada di posisinya, bagaimana kira-kira perasaan saya. Karena saya tidak pernah tahu
badai apa saja yang sudah menghempas biduk kehidupannya. Karena saya tidak
pernah tahu seberat apa harinya.
Saya juga belajar, bahwa sekuat
apa pun seseorang, kalau tidak mendapatkan dukungan dari lingkungannya, maka bisa
fatal akibatnya. Manusia adalah manusia. Bukan mesin tanpa perasaan. Punya
kelemahan. Punya titik jenuh. Manusia butuh malaikat tanpa sayap yang bernama ‘teman’.
Surabaya, 13 Oktober 2019
Tidak ada komentar:
Posting Komentar