Tit tit tit tit tit.......... bunyi alarm dari HP mengusik telingaku. Aaahhh....sudah
pagi, pikirku sambil bersungut-sungut dalam hati. Kuraih HP yang tergeletak diatas
meja kecil disamping tempat tidurku sambil kepalaku tetap menempel diatas
bantal. Kutekan salah satu tombol di HP untuk
menghentikan keributan tersebut. Dan aku pun kembali memejamkan mata.
Tit tit tit tit tit.......... suara ribut kembali mengusik tidurku. Kumatikan
alarm dari HP ku yang satunya lagi sambil badanku tetap menempel pada tempat
tidur. Aku lanjutkan tidurku. Beberapa belas menit berlalu dan dalam keadaan
setengah sadar pikiranku bergumul, “Ahh....hari ini aku bolos kerja saja
ah....males banget rasanya.”
Tapi tak lama kemudian kuurungkan niatku untuk membolos kerja, mengingat
kalau aku bolos kerja berarti gajiku akan dipotong karena jatah cutiku untuk
tahun ini sudah habis, sedangkan aku sangat membutuhkan uang itu. Akhirnya dengan
penuh perjuangan aku pun beranjak menuju kamar mandi.
**
Pagi ini, seperti biasa aku duduk bersila di depan salib. Hatiku terasa
penuh dan sesak. Entah mengapa. Tak banyak yang bisa kukatakan padaNya. Kata-kataku
tidak bisa mengalir dengan lancar. Hanya ucapan terima kasih karena
penyertaanNya sepanjang malam tadi dan karena aku sudah diijinkan untuk bangun
dalam keadaan sehat wal’afiat pada pagi hari ini. Disusul permohonan ampun untukku
dan keluargaku. Lalu aku pun terdiam...tak tahu harus bicara apa lagi. Pikiranku melayang-layang dan akhirnya
berhenti...tertumbuk pada seseorang yang kutemui secara tak sengaja tadi malam.
Semalam, aku dan seorang temanku sedang dalam perjalanan menuju sanggar. Motor
yang kami naiki berjalan pelan disela-sela mobil yang berhenti karena lampu
merah diatas jembatan Nginden. Akhirnya motor kami pun harus berhenti karena
tak ada lagi sela yang bisa dimasuki. Tak lama kemudian melintas dua orang
pengamen di depan motor kami, berjalan menuju mobil yang ada di sebelah kanan
motor kami, sambil beryanyi dan memetik kentrung.
Kukenali sebuah wajah yang tak asing. “Yanto!”, teriakku memanggil salah satu
pengamen itu. Anak laki-laki itu pun menghentikan langkah dan nyanyiannya dan
menoleh kearahku. Kulambaikan tanganku dan segera kuturunkan kain penutup
wajahku. Dia pun segera mengenali wajah kami dan berjalan menuju kearah kami,
sementara temannya tadi tetap menghampiri mobil-mobil yang berhenti untuk mengumpulkan
uang recehan sebagai imbalannya bernyanyi.
Diulurkannya tangannya untuk bersalaman dengan kami. Kulihat wajahnya yang
tampak lebih kurus. Rambutnya agak gondrong. Pakaiannya tampak kotor. Dia tampak
tak terawat. Berbeda dengan Yanto yang sering kutemui di sanggar beberapa bulan
yang lalu. Dulu dia tampak lebih bersih dan segar meski penampilannya ala punk.
“Kamu kurusan, Yanto”, kataku.
“Aku tidur di jembatan, mbak...”, katanya menimpali.
“Lho, bukannya di Kebun Bibit?” tanyaku.
“Iya, kalau malam. Kalau siang di jembatan, mbak”, jawabnya.
Kami mengobrol sejenak ditengah lalu lintas yang sedang berhenti. Aku menyampaikan
sedikit tentang rencana ulang tahun sanggar dan dia menyampaikan rencananya untuk
berjualan stiker. Ingin rasanya ngobrol lebih lama lagi, tetapi kami segera
mengakhiri obrolan karena dalam hitungan detik lampu akan menjadi hijau. Sebelum
kami meninggalkannya diatas jembatan itu, kulihat dia memandang kami dengan
tatapan yang membuatku trenyuh. Kulambaikan tanganku sebelum motor kami
berjalan meninggalkan jembatan Nginden.
“Sukses ya...”, teriaknya dari tepi jembatan.
Kuacungkan jempol tanganku untuk menanggapi kata-katanya yang berisi doa
itu.
**
Hatiku terasa miris mengingatnya. Aku pun menangis dalam doaku pagi ini. Aku
merasa sedih dan kecewa terhadap diriku sendiri, karena selama ini aku kurang
bersyukur. Begitu banyak hal baik dan kenikmatan yang sudah dianugerahkanNya
kepadaku. Pekerjaan dan tempat tinggal yang layak. Orang tua yang selalu
mempedulikanku. Dan masih banyak lagi. Tapi beberapa bulan terakhir ini aku
sering mengeluh. Aku merasa tidak betah lagi dengan pekerjaanku. Aku juga merasa
kecewa, jengkel, dan marah terhadap kedua orang tuaku yang tidak mengijinkan
aku untuk mewujudkan mimpiku. Bahkan hari ini pun kuawali dengan
bersungut-sungut dan bermalas-malasan.
Sedangkan Yanto??? Dia harus bertahan hidup dengan mengamen di jalanan. Tidur
di kolong jembatan Nginden dan di Kebun Bibit karena bapak, ibu tiri, dan adik tirinya pindah
kos dan dia ditinggalkan begitu saja tanpa diberitahukan alamat yang baru. Jalanan
adalah tempat
kerjanya, tempatnya untuk mengais rejeki. Jembatan Nginden dan langit Surabaya adalah langit-langit kamar tidurnya.
kerjanya, tempatnya untuk mengais rejeki. Jembatan Nginden dan langit Surabaya adalah langit-langit kamar tidurnya.
Betapa berat hidup yang harus dijalani oleh remaja itu. Remaja putus
sekolah yang berjuang hidup seorang diri ditengah-tengah kerasnya kehidupan
kota Surabaya, tanpa orang tua dan sanak saudara yang mendampingi. Waktu aku
seusianya, tugasku hanyalah berurusan dengan buku-buku pelajaran. Masalah
makan, tempat tinggal, uang saku dan lain-lain sudah otomatis kudapatkan dari
kedua orang tuaku tanpa perlu memintanya apalagi mengusahakannya sendiri. Sangat
bertolak belakang dengan Yanto. Namun mengapa aku masih saja sulit untuk
bersyukur???
Ya Allahku, ampunilah aku yang sering bersungut-sungut dan mengeluh. Aku
mohon, berikanlah aku hati yang senantiasa bersyukur...meski banyak hal dalam
hidupku yang tidak berjalan sesuai harapanku... Amien.
Surabaya, 31 Oktober 2011
Catatan redaksi : Yanto adalah nama samaran
Tidak ada komentar:
Posting Komentar