Menyesal...adalah hal yang kurasakan tak lama setelah aku menerima tawaran
dari Rm. Gani untuk mengajar anak-anak jalanan di daerah Jl. Semarang. Perasaan
takut dan menyesal melingkupiku saat itu. Takut karena image anak-anak jalanan yang negatif yang tertanam dalam benakku.
Menyesal mengapa aku kok mau
merepotkan diri terlibat dalam kegiatan tersebut. Cari susah aja....demikian pikirku. Alasan yang
mendasari semua itu adalah karena aku tidak menyukai anak-anak, tidak
komunikatif, tidak pandai mengambil hati, dan paling tidak bisa mengajar (baca:
menjelaskan sampai membuat orang lain benar-benar mengerti dengan mudah
penjelasanku).
Tapi nasi sudah menjadi bubur. Aku sudah terlanjur menyanggupi dan aku merasa
tidak enak kalau menarik kata-kataku apalagi Rm. Gani mengharapkan sebuah
komitmen. Aku juga tak habis pikir kenapa saat itu aku langsung mengiyakan
ajakan Rm. Gani tanpa berpikir panjang. Akhirnya dengan berbekal kata-kata yang
pernah diucapkan oleh Bunda Teresa yaitu Come
and See, maka aku pun memantapkan hati untuk terus melangkah. Ya, selama
ini aku terinspirasi oleh Bunda Teresa. Come
and See...Datang dan Lihatlah... Akhirnya aku memutuskan untuk datang ke
tempat pendampingan dan biarlah aku melihat apa yang dapat aku lakukan disana
dengan segala keterbatasan dan kelemahanku.
Pada hari yang telah ditentukan aku dan seorang temanku diantar oleh Rm.
Gani menuju ke Kampung Ilmu. Ternyata yang harus kami dampingi bukanlah
anak-anak jalanan, melainkan anak-anak pinggiran yang rata-rata sudah bersekolah.
Pengajaran yang diberikan disana hanyalah pelajaran tambahan. Mereka adalah
anak-anak warga sekitar Jl. Semarang yang notabene kurang beruntung secara
ekonomi.
Waktu pun terus bergulir. Perlahan-lahan aku mulai menikmati kegiatan
pendampingan belajar di Kampung Ilmu dan rasa takut itu pun berangsur-angsur
menghilang. Aku pun mulai menikmati bergaul dengan anak-anak. Tidak ada lagi
penyesalan...
Seiring dengan waktu, aku pun mulai terlibat dalam kegiatan pendampingan belajar bagi anak-anak pinggiran di Sanggar Merah Merdeka dan program bimbingan belajar yang diadakan oleh SRMI (Serikat Rakyat Miskin Indonesia) di daerah Margorukun. Aku percaya semua ini terjadi atas kehendakNya karena terjadi mengalir begitu saja dan tak pernah kupikirkan sebelumnya.
Di Sanggar Merah Merdeka (SMM) aku juga mulai berinteraksi dengan beberapa anak jalanan yang kami dampingi. Mereka adalah anak-anak jalanan yang disekolahkan oleh SMM dan tinggal di sanggar. Mereka diangkat keluar dari jalanan dengan harapan agar mereka mulai menata hidup baru yang lebih baik. Dan ternyata image bahwa anak-anak jalanan itu selalu liar, kurang ajar, dan membahayakan tidak 100% benar. Mereka bersikap baik dan sopan terhadapku. Kami dapat bergaul, bercanda, dan makan bersama. Salah seorang dari mereka juga pernah mengajariku main ketipung. Aku percaya bahwa apabila kita memperlakukan mereka dengan baik (manusiawi) dan disertai ketulusan hati maka mereka pun akan merespon dengan baik pula.
Memang belum genap 2 tahun aku terjun di kegiatan pendampingan ini, namun jatuh bangun cukup sering mewarnai perjalananku. Tidaklah mudah untuk setia dalam komitmen yang sudah dibuat. Perasaan gagal, malas, serta rasa lelah secara fisik dan perasaan seringkali mengendurkan semangatku dan menjadikan aku tidak lagi total dalam memberikan diri.
Sebelum aku terlibat dalam kegiatan pendampingan, aku memiliki banyak waktu
luang untuk beristirahat serta membaca buku dan artikel-artikel rohani yang
menginspirasi dan menguatkan. Aku bisa berdoa selama berjam-jam dan setiap hari
mengikuti misa harian. Semuanya itu sangat menguatkan dan mendukung aku. Namun
seiring dengan makin banyaknya kegiatan yang aku ikuti - yang akhirnya menyita
waktu dan tenagaku - aku hampir tidak bisa lagi melakukan semua itu. Aku hampir
tidak mempunyai waktu untuk diriku sendiri. Kurang istirahat dan kehidupan
doaku pun kacau. Aku seperti kehabisan energi. Dan akhirnya muncul keinginan
untuk berhenti.
Ditengah pergulatanku ternyata Tuhan tidak membiarkan aku bimbang terlalu
lama. Aku kembali diingatkan pada alasan mula-mula mengapa aku mau terlibat
dalam pelayanan terhadap sesama yang kurang beruntung. Aku pun teringat kembali
pada tulisan Rasul Paulus dalam 1 Kor 13 : 1 – 3 yang berbunyi:
Sekalipun
aku dapat berkata-kata dengan semua bahasa manusia dan bahasa malaikat, tetapi
jika aku tidak mempunyai kasih, aku sama dengan gong yang berkumandang dan
canang yang gemerincing. Sekalipun aku mempunyai karunia untuk bernubuat dan
aku mengetahui segala rahasia dan memiliki seluruh pengetahuan; dan sekalipun
aku memiliki iman yang sempurna untuk memindahkan gunung, tetapi jika aku tidak
mempunyai kasih, aku sama sekali tidak berguna. Dan sekalipun aku
membagi-bagikan segala sesuatu yang ada padaku, bahkan menyerahkan tubuhku
untuk dibakar, tetapi jika aku tidak mempunyai kasih, sedikitpun tidak ada
faedahnya bagiku.
Dengan rajin berdoa, tekun mengikuti Misa Kudus, dan sering membaca buku /
artikel rohani memang bisa memperkuat imanku. Namun semua yang kulakukan itu hanya
sebatas hubunganku dengan Yang Diatas....hanya untuk diriku sendiri. Lalu
bagaimana dengan hubunganku dengan sesamaku? Apakah hanya dengan rajin berdoa,
tekun mengikuti Misa Kudus, dan membaca buku / artikel rohani bisa
menyelamatkanku? Apakah hanya dengan melakukan itu semua berarti aku sudah
melakukan perbuatan kasih? Tidak! Dengan hanya melakukan ritual keagamaan itu
aku merasa hanya mencintai Tuhan di awang-awang. Sedangkan yang dituntut
olehNya adalah cintaku yang nyata, yaitu cinta kepadaNya yang tertuang melalui
perbuatan kasih yang nyata terhadap sesamaku. Menjadi saluran berkat dan kasih
Tuhan untuk sesamaku...itulah yang diharapkanNya daripadaku.
Aku meyakini bahwa Allah hadir tersamar dalam diri sesamaku yang kurang
beruntung. Dengan mendampingi anak-anak yang kurang beruntung itu aku merasa
dapat melakukan sesuatu bagi Allahku yang hadir tersamar dalam diri mereka. Bukankah
dalam Matius 25 : 40 Tuhan Yesus sendiri mengatakan “...sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari
saudaraKu yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku”?
Aku juga kembali teringat akan mimpiku. Beberapa tahun yang lalu seorang
teman pernah memberikan sebuah buku renungan harian khusus untuk wanita kepadaku
dan di halaman pertama terdapat kolom isian nama dan mimpi. Aku masih ingat
dengan jelas, saat itu aku menuliskan mimpiku adalah to live for God and poor people. Sampai saat ini aku masih menyimpan
buku itu...untuk selalu mengingatkan aku akan mimpi yang sedang kukejar dan
kuperjuangkan.
Kegiatan pendampingan yang aku lakukan selama ini membuat aku merasa memiliki
hidup yang lebih bermakna dibandingkan kehidupanku sebelumnya. Hidup yang tidak
hanya mengejar kesenangan diri sendiri, melainkan hidup dengan berbuat sesuatu
yang berguna untuk orang lain, terutama mereka yang miskin dan menderita. Itulah
hidup yang bermakna menurutku.
Halangan dan rintangan yang muncul dari dalam diriku sendiri maupun dari
luar diriku memang sering datang menghadang. Perasaan malas, tidak percaya
diri, merasa kurang dalam hal kompetensi, kekuatiran apabila tidak diterima, dan
masih banyak lagi. Namun setelah kurenungkan lagi ternyata kebanyakan semua itu
hanyalah ketakutan dalam pikiranku sendiri.
Dulu aku sempat merasa kuatir tidak diterima dengan baik oleh anak-anak itu
mengingat aku adalah golongan minoritas (keturunan tionghoa dan beragama
Katolik). Sedangkan anak-anak itu tidak ada yang etnis tionghoa dan hampir
semuanya beragama Islam. Namun berbekal doa dan niat yang tulus akhirnya semua
ketakutan itu dapat terlewati. Hal ini terbukti dengan sikap mereka yang
menunjukkan penerimaan dan mulai dekatnya beberapa anak denganku. Mereka ada
yang curhat kepadaku, duduk bermanja padaku, memelukku dengan tiba-tiba,
mengatakan kangen padaku, bahkan ada yang sering kirim sms sekedar mengucapkan
selamat pagi, selamat siang, selamat sore, selamat malam, atau menanyakan aku
sedang apa.
Memang sampai saat ini kadang-kadang masih ada anak yang bertanya, “Mbak ini orang cina ya?” atau “Mbak ini orang Kristen ya?” Namun aku berusaha untuk tidak melihat itu sebagai masalah besar. Aku justru ingin memanfaatkan kesempatan ini untuk memberikan kesaksian yang nyata akan kasih Tuhan Yesus di dunia ini. Bahwa kasihNya mengatasi perbedaan yang ada.
Sampai dengan saat ini pun aku masih sering dihadapkan pada hal-hal dan
tantangan baru yang tak jarang membuat aku gentar. Namun dengan rahmatNya aku percaya
dapat melewati semua itu. Sebagai sumber kekuatan, semangat, dan penghiburan
aku berusaha untuk tidak melewatkan doa, Misa Kudus, dan membaca artikel
rohani. Memang tidak mudah untuk menyediakan waktu, namun aku selalu mohon
rahmatNya agar aku tetap setia melakukannya. Saat tidak sempat membaca buku aku
pun memanfaatkan fasilitas internet (e-mail, facebook, blog, website) untuk
membaca artikel rohani dan tulisan-tulisan inspiratif di waktu senggang saat
berada di kantor.
Aku berharap dapat terus mempraktekkan Come
and See. Datang dan melihat apa yg dapat aku lakukan bagi Allahku yang hadir
tersamar dalam diri sesamaku terutama mereka yang miskin dan menderita,
sehingga aku pun dapat mewujudkan mimpiku yaitu hidup bagi Tuhan dan sesama
yang miskin dan menderita. Amin.
*Surabaya, 11 Januari 2012*
aku merasa sangat miris setelah membaca tulisan ini dan ingat akan kondisi ku yang belum bis menyempatkan waktu dan ati ku untuk Tuhan dan untuk sesama ku..
BalasHapussampai saat ini aku masih ingin melayani Nya lewat anak2 Nya tapi waktu masih sering menghalangi aku..
Dibawa dalam doa saja kerinduan itu. Jika memang Tuhan menghendaki pasti akan ada jalannya. Kalau memang masih belum ada waktu untuk terjun langsung, bisa melayaniNya dalam bentuk doa, dukungan, dan materi. Tuhan memberkati :)
Hapus