Masih melekat kuat dalam ingatanku, sebuah pengalaman berkesan saat aku
berkunjung ke Liponsos (Lingkungan Pondok Sosial), Keputih, Surabaya, pada akhir
bulan Maret 2013 yang lalu. Pengalaman pertama berinteraksi dengan para wanita
penderita gangguan kejiwaan yang ‘diamankan’ disana.
Sekitar pukul 09.00 kami berenam bersama sopir meluncur menuju Liponsos
sambil membawa makanan ringan yang akan dibagikan kepada para penghuni
Liponsos. Sebelumnya aku sudah pernah datang kesana, tapi hanya berkeliling dan
melihat-lihat di area luar ‘kurungan’ yang dihuni oleh orang-orang yang ‘diambil’
dari jalanan oleh Satpol PP, seperti anak jalanan (pengamen, dll), gepeng
(gelandangan dan pengemis), WTS, dan orang-orang penderita gangguan kejiwaan. Maka
ketika ada tawaran untuk masuk ke dalam ‘kurungan’ dan membagikan wafer, aku
pun segera mengiyakan.
Bersama seorang ibu dan dengan didampingi oleh petugas Liponsos, aku
mendapat jatah tugas pembagian di bagian wanita penderita gangguan kejiwaan.
Sejujurnya masih ada sedikit rasa takut dalam hatiku, meski petugas sudah
meyakinkan kami kalau para wanita itu sudah tidak berbahaya lagi. Aku kuatir,
jangan-jangan nanti aku dicekik atau dipukul ketika aku berada di dalam nanti.
Bagaimanapun juga kan mereka bukan
orang normal, demikian pikiran burukku berkecamuk. Namun aku berusaha
meyakinkan diriku bahwa semuanya akan aman-aman saja.
Akhirnya dengan mantap aku melangkahkan kakiku masuk kedalam ‘kurungan’
meski hati ini masih was-was juga. Begitu pintu pagar dibuka, kulihat puluhan
wanita kurus dengan penampilan tak terurus sudah bergerombol di dekat pintu
pagar. Mereka pun diminta untuk antri di sisi dalam pembatas berupa dua buah
bangku kayu panjang. Sambil membagikan wafer, aku tetap waspada kalau-kalau ada
yang mendekatiku dan berbuat macam-macam. Dasar paranoid...hehehe...
Setelah antrian habis, petugas mengajak kami untuk masuk ke bagian dalam
‘kurungan’. Ternyata di bagian dalam masih ada beberapa wanita yang tidak dapat
ikut antri untuk mendapatkan jatah wafer. Mereka adalah yang lanjut usia dan
yang dirantai karena berbahaya. Kami pun berpencar. Aku berkeliling dengan
didampingi oleh seorang petugas.
Di bagian tengah, dekat kamar mandi terbuka, kami berkeliling dan berhenti
di beberapa titik untuk membagikan wafer. Bau pesing menusuk hidung. Ternyata
di lantai kulihat air seni dan bekas kotoran manusia berceceran. Beberapa orang
telanjang dan beberapa orang dirantai di bagian leher dan kaki karena sudah
menyerang dan menyakiti teman-temannya dan petugas. Saat aku mengulurkan tangan
untuk membagikan wafer kepada para wanita yang dirantai, tentu saja aku merasa takut
kalau mereka tiba-tiba mengamuk, menarik tanganku, dan menyakitiku. Namun
syukurlah kekuatiranku tidak menjadi kenyataan.
Kemudian kami berkeliling di bagian belakang, di bagian kamar-kamar, untuk
menemui para lansia. Kulihat kamar-kamar yang kumuh, dengan dipan kayu tanpa
kasur. Lalat nampak beterbangan kesana-kemari, hinggap disana-sini. Sedih kalau
membayangkan para lansia kurus itu harus tidur dengan keadaan seperti itu.
Selain kondisi tempat dan para penghuni yang memprihatinkan, ada hal lain yang
menjadi sorotanku, yaitu reaksi yang ditunjukkan oleh beberapa wanita disana. Beberapa
orang setelah menerima wafer langsung menyalamiku dan mengucapkan terimakasih
sambil memberikan doa. Juga, saat aku sedang berkeliling di bagian dekat kamar
mandi terbuka, seorang wanita muda berpenampilan acak-acakan mendatangiku dan
menyalamiku sambil mengucapkan terimakasih karena aku sudah mau datang. Saat
kulingkarkan lenganku pada punggung dan lengannya, dia pun membalas merangkulku
dengan tangan kirinya. Dia nampak gembira sekali.
Semua itu berkesan, namun yang paling berkesan adalah saat aku masuk ke dalam
sebuah kamar yang didalamnya terdapat 4 orang wanita lansia. Salah satunya
telanjang dada dan kulihat ada luka besar menganga pada payudara kanannya. Saat
kudekati untuk memberikan wafer, kuamati lukanya dan ternyata payudaranya
berlubang dan sudah tidak utuh lagi. Belakangan aku baru tahu dari petugas,
ternyata nenek bermata sipit itu mengidap kanker payudara.
Setelah nenek pengidap kanker payudara itu menerima wafer dariku, dia
menyalamiku dan mengucapkan terima kasih. Dia nampak ramah dan merasa gembira
dengan kehadiranku. Namun nenek itu tidak mau melepaskan tanganku dan berkata,
“Kamu ndak boleh pulang”. O oh...rasa
takut dan pikiran negatif langsung menyergapku. Apalagi saat kutoleh
kebelakang, petugas yang menemaniku sudah tidak nampak lagi. Dia meninggalkan
aku sendirian berada di dalam kamar yang berisi 4 orang nenek dengan gangguan
kejiwaan, dan salah satunya sedang memegang erat tanganku dan tak mau
melepaskannya. Rasa panik pun mulai menyerang. Bagaimana kalau aku dikeroyok
dan disakiti oleh nenek-nenek ini? Untuk sesaat aku tidak tahu harus bagaimana,
otakku serasa tidak bisa berpikir untuk beberapa detik. Akhirnya dari mulutku hanya
bisa terlontar, “Tidak bisa... Saya harus pulang...” Seorang nenek yang lain
pun akhirnya meyakinkan temannya itu kalau aku harus pulang. Akhirnya nenek itu
pun melepaskan tanganku. Aku pun segera berpamitan dan meninggalkan mereka.
Dalam perjalanan pulang, aku terus terbayang-bayang pengalaman bersama
wanita-wanita penderita gangguan kejiwaan itu. Meski mereka itu ‘tidak waras’,
mereka tahu berterimakasih. Walau hanya mendapatkan sedikit rejeki berupa
beberapa keping wafer, mereka tahu bagaimana mengucap syukur. Menjabat tangan
untuk berterima kasih dan memberikan doa bagi si pemberi. Wajah mereka pun
nampak sumringah dan ramah.
Hmm... Bagaimana dengan kita yang masih waras ini? Apakah kita juga dapat
mensyukuri hal-hal yang kita peroleh dalam hidup ini? Apakah kita tahu menghargai
dan berterimakasih atas kebaikan dan pemberian orang lain? Jangan-jangan
orang-orang yang tidak waras itu jauh lebih bisa bersyukur dan menghargai
kebaikan orang lain dibandingkan orang-orang yang masih waras...
Mari kita renungkan bersama...
Prigen, 17 Mei 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar