Kamis, 6 Oktober 2016 adalah hari
dimana sejak saat itu hidupku mengalami perubahan yang cukup drastis.
Pada hari itu, sekitar pukul
09.00, papa meneleponku dan mengatakan, “Jangan kaget ya… Mama sakit”. Papa
mengatakan kalau mama sakit maag dan mau segera dibawa ke rumah sakit. Setelah
mendengar kabar mengejutkan itu, aku dikatakan panik juga tidak tapi dikatakan
tidak panik sebenarnya juga tidak. Bingung mendeskripsikan perasaanku saat itu.
Mungkin aku tidak terlalu panik karena aku tahu selama ini mama tidak pernah
sakit sehingga aku merasa mama pasti akan baik-baik saja.
Aku sempat bingung memutuskan
harus pulang ke Lumajang atau tidak. Perlukah aku segera pulang dan menengok
mama? Awalnya aku bermaksud menunggu hasil diagnosa dokter terlebih dahulu.
Jika memang mama hanya sakit maag biasa dan tidak perlu rawat inap maka aku tidak perlu untuk segera
pulang karena saat itu aku masih dalam posisi bekerja di kantor. Tapi sampai
agak siang belum juga ada kepastian mengenai apa penyakit mama. Akhirnya aku
pun memutuskan untuk ijin pulang lebih awal dari kantor dan pulang ke Lumajang
naik travel pukul 15.00.
Rombongan travel sedang berhenti
untuk makan malam di sebuah rumah makan di daerah Tongas ketika adik perempuan mamaku
meneleponku dan mengatakan bahwa malam ini mama akan segera dipindahkan ke
rumah sakit RKZ di Surabaya memakai mobil ambulans karena terlalu lama menunggu
hasil diagnosa dokter sedangkan kondisi mama makin lemah. Sekitar pukul 20.00
aku sampai di rumah sakit dan tak lama kemudian tanpa sempat beristirahat sama
sekali aku pun berangkat lagi ke Surabaya mengantar mama dengan ditemani oleh
papa dan 2 orang perawat.
Di sepanjang perjalanan mama
mengeluh kesakitan sehingga aku sibuk meladeni mama yang minta diolesi minyak
di dahinya karena merasa pusing, minta dipijat lengannya karena sakit semua,
memberikan minum dan membesarkan hati mama bahwa kami akan segera tiba di rumah
sakit RKZ dan mama akan merasa lebih
baikan setelah ditangani disana. Aku terus menggenggam jemari tangan mamaku. Sopir
ambulans awalnya tidak berani tancap gas karena mama selalu berteriak kesakitan
saat terkena goncangan. Namun setelah aku meminta persetujuan mama dan meminta
mama untuk menahan rasa sakit akibat goncangan, aku pun meminta sopir ambulans
untuk membunyikan sirine dan melaju dengan cepat agar kami bisa segera sampai
di RKZ dan mama segera mendapatkan penanganan.
Sekitar pukul 01.00 dini hari (Hari
Jum’at) kami tiba di RKZ. Mama segera ditangani di UGD. Setelah melakukan
beberapa pemeriksaan dan mengurus proses administrasi, sekitar pukul 03.30 mama
pun dipindahkan ke kamar perawatan. Waktu terus berjalan dan mentari mulai menunjukkan
wajahnya. Aku meminta ijin ke mama untuk keluar kamar dan membaringkan tubuh
sejenak di bangku kayu di teras paviliun. Tubuh begitu lelah dan mata mengantuk
karena tidak tidur sama sekali tapi aku tidak berhasil terlelap barang sedetik
pun. Akhirnya dengan badan yang rasanya melayang-layang aku pun memutuskan
untuk mandi. Berharap badan akan terasa lebih segar.
Sekitar pukul 07.00 dokter
penyakit dalam yang sudah kami pilih pun datang memeriksa kondisi mama. Setelah
melihat kondisi mama yang tidak bagus, dokter meminta mama menjalani beberapa
pemeriksaan laboratorium berikut USG dan mengharuskan seorang dokter bedah untuk
turut menangani mama karena kemungkinannya ada kebocoran di usus atau organ
dalam yang lain.
Agak siang, dokter bedah yang
ditunjuk pun datang. Setelah memeriksa kondisi mama, dokter bedah memanggil aku
dan kakak perempuanku. Dokter mengatakan bahwa hasil pemeriksaan laboratorium &
USG mama menunjukkan ada pengerasan liver dan terjadi infeksi akibat kebocoran organ
dalam yang lain. Harus segera dioperasi untuk mengetahui lebih lanjut dimana
kebocorannya dan untuk membersihkan cairan nanah yang sudah memenuhi rongga
perut mama agar infeksi tidak menyebar. Namun dokter tidak bisa menjamin
keselamatan mama pasca operasi karena operasi yang dilakukan adalah operasi
besar dan berdasarkan pengalaman selama ini untuk kasus serupa pasien tidak
dapat bertahan. Mengenai waktu operasi, dokter akan memutuskan setelah hasil
pemeriksaan laboratorium lanjutan. Kami berdua seperti disambar petir di siang
bolong mendengar berita itu dan segera saja kami berdua bercucuran air mata
saat mendengarkan penjelasan dokter.
Sekitar pukul 15.00, dokter bedah
memanggil kami berdua lagi. Dokter mengatakan operasi harus dilakukan malam itu
juga pada pukul 20.00, tidak bisa ditunda-tunda lagi karena terlalu berbahaya. Kami
harus mengambil keputusan yang sulit tanpa ada kesempatan berpikir panjang.
Jika mama tidak dioperasi maka infeksi akan makin menyebar dan kondisi mama
akan makin memburuk. Jika mama dioperasi maka kami harus siap kehilangan mama
karena kemungkinan kesembuhan pasca operasi yang sangat kecil.
Berbekal keinginan melakukan
usaha yang terbaik untuk mama dan berbekal sedikit harapan bahwa siapa tahu
Tuhan berkenan melakukan mukjizat atas diri mama, maka setelah memohon
persetujuan dari keluarga besar, kami pun menandatangani berkas-berkas
persetujuan tindakan operasi dan menyelesaikan proses administrasi.
Hanya 4 jam tersisa.
Aku memiliki kesempatan terakhir
berbincang-bincang dan menikmati kebersamaan dengan mama saat mama masih dalam
keadaan sadar hanya selama 4 jam saja sebelum mama dioperasi dan selanjutnya
entah apa yang akan terjadi. Aku memanfaatkan waktu selama 4 jam itu untuk sebisa
mungkin berada di sisi mama. Aku mengipasi mama yang terus merasa kegerahan
serta memijati lengan dan kaki mama. Aku juga membisikkan doa-doa Bapa Kami,
Salam Maria dan Kemuliaan di telinga mama meski mama tidak memeluk agama apapun
selama ini. Hanya 3 doa itu saja yang terbersit dalam benakku. Aku tidak tahu
lagi bagaimana harus berdoa karena hati dan pikiranku kacau balau. Bersyukur
mama mengijinkan aku mendaraskan doa-doa itu. Sungguh aku berharap mama pun
mengikuti berdoa dalam hati sehingga jiwanya menemukan jalan jika kemungkinan
terburuk yang terjadi. Aku pun mengelus-elus kepala mama, mencium keningnya,
memeluknya dan membisikkan bahwa aku menyayanginya. Hal-hal yang tidak pernah
kulakukan selama ini terhadap mama.
Tiada terdengar lagi suaranya.
Sabtu, 8 Oktober 2016, sekitar pukul
08.00 aku tiba di rumah sakit dan segera masuk ke ruang ICU untuk menemui mama
untuk pertama kalinya setelah mama selesai dioperasi. Melihat tubuh mama sudah
dipasangi berbagai macam selang yang terhubung ke alat bantu, aku hanya bisa
memanggil-manggil mama sambil bercucuran air mata. Tidak ada kata-kata lain
yang dapat terucap dari mulutku. Begitu juga mama. Mama tidak lagi dapat
berbicara karena selang alat bantu pernapasan yang dipasang di mulut mama. Ternyata
selain 4 jam terakhir, jam-jam sebelum operasi adalah saat-saat terakhir aku
mendengarkan suara mama.
Pasca operasi mama harus dirawat
di ICU sampai kondisi benar-benar stabil. Antibiotik dosis tinggi terus
dimasukkan kedalam tubuh mama untuk memerangi infeksi yang sudah menyebar ke
seluruh tubuh. Kata dokter, kondisi mama cukup stabil (dalam artian masih sadar
dan bisa merespon saat diajak berkomunikasi) hanya karena bantuan obat-obatan.
Minggu, 9 Oktober 2016, sekitar
pukul 05.30 aku mengantarkan obat-obatan yang diminta oleh perawat ke dalam
ruang ICU. Perawat memintaku untuk banyak berdoa karena kondisi mama menurun
dan koma. Keluarga besar mulai
berdatangan. Mulai sekitar pukul 08.00 denyut jantung mama beberapa kali berhenti
dan harus dilakukan pijat jantung. Perawat dan keluarga besar menyarankan untuk
tidak terus melakukan pijat jantung karena tindakan itu hanya bisa
mengulur-ulur waktu kematian mama. Namun aku bersikeras meminta seorang imam mendoakan
mama terlebih dahulu untuk mengantar kepergian mama dan sementara itu aku meminta
pijat jantung tetap dilakukan sampai mama selesai didoakan. Aku mengusahakan
mencari seorang imam maupun suster untuk mendoakan mama yang sedang menghadapi
sakratul maut tapi semuanya berhalangan. Akhirnya keluarga memutuskan untuk
mengikhlaskan mama pergi.
Kesempatan yang tak dimanfaatkan
Sebulan sebelum kepergian mama
untuk selama-lamanya, mama menghampiriku yang sedang berbaring diatas kasur dan
ikut berbaring disampingku. Saat itu sebenarnya ada suara dalam hatiku yang
menyuruhku untuk bercerita banyak dengan mama mumpung ada kesempatan. Tapi aku
mengabaikannya karena merasa yakin akan ada kesempatan lain. Akhirnya aku lebih
memilih untuk sibuk dengan smartphone
yang ada di genggamanku dan kurang mempedulikan mama.
Selama ini aku tidak
pernah ada kedekatan dan kehangatan dengan kedua orang tuaku. Tidak banyak
komunikasi yang terjalin meski aku sedang berada di rumah bersama mereka. Menyadari
akan hal itu, setiap kali aku berdoa, aku selalu memohon kepada Tuhan agar
memberikanku kesempatan untuk lebih menjalin kedekatan dengan kedua orang tuaku
sehingga aku tidak menyesal kelak.
Sesungguhnya kesempatan itu
seringkali diberikan oleh Tuhan kepadaku namun selalu kulewatkan, seperti
halnya yang terjadi sebulan yang lalu, yang ternyata merupakan kesempatan
terakhir. Aku selalu merasa yakin akan ada kesempatan selanjutnya. Tapi
ternyata tidak untuk kali ini. Semua terjadi begitu cepat. Dalam waktu 4 hari
mama direnggut dari hidupku. Begitu pula dengan kesempatanku.
Hanya 4 jam tersisa… Selebihnya hanyalah
penyesalan…
Surabaya, 27 Pebruari 2017
Piglet, aku sedih banget baca tulisanmu. Mengingatkan aku juga untuk lebih memperhatikan papa mama ku. Thx mau berbagi ceritamu. Bighug
BalasHapusPooh sayang, jangan melewatkan kesempatan yg ada karena kita tidak pernah tahu apakah kesempatan itu akan datang lagi atau tidak... bighug juga buat kamu... muah muah...
HapusMakcok...aq jg gt klo mama crita pnjang lbar aq umek sm hp :( mkasi sdh diingatkan lwat critamu...
BalasHapusSami2 jeng sri...
HapusTerpenting dari semua itu bagaimana kita selalu mendoakan mereka yang kita kasihi yang telah mendahului kita. Sebab seperti yang mba Lea katakan bahwa "lilin (kecil)" dapat menerangi kegelapan. Sementara "doa" yang kita panjatkan dapat menuntun dan menghantarkan mereka ke kehidupan abadi bersama Allah Bapa di surga. Sebab saya pribadi, setiap kali sebelum perayaan ekaristi dimulai secara khusus saya mendoakan ke dua orang-tua dan semua orang yang telah meninggal. Jadi, kesempatan pertama boleh saja berlalu. Tapi khan masih ada kesempatan berikutnya dengan cara selalu mendoakan mereka.
BalasHapusBetul sekali... Terima kasih sharingnya :) God bless...
Hapus