Laman

Jumat, 09 Maret 2018

Pak Samad Si Penarik Becak




Berkali-kali kulirik jam tangan ungu yang melingkar di pergelangan tangan kiriku. Tidak ada tanda-tanda teman-teman beranjak dari kursinya, sedangkan cacing-cacing di perutku mulai menuntut jatahnya. Pun tak ada tanda-tanda rintik hujan akan segera berhenti. Waktu menunjukkan pukul 12.30 saat kubuka suaraku dan mengajak teman-teman untuk segera mengisi perut. Kuraih sebuah payung merah berukuran besar yang ada di sudut ruang tamu dan akhirnya kami bertiga berjalan kaki menuju ke warung Bu Mun. 

Warung langganan teman-teman yang hanya berjarak sekitar 30 meter dari kantor sekretariat ini tak pernah sepi, terutama pada jam makan siang. Terlambat sedikit saja, menunya sudah tak lengkap lagi. Menu yang disajikan sangat sederhana. Menyesuaikan dengan kantong para pelanggannya yang sebagian besar berkantong tidak tebal. Saat kami tiba di sana nampak beberapa pria berpakaian sederhana sudah duduk di bangku sambil menunggu pesanan. 

Siang itu menu yang dijual adalah sayur sop, pecel dan sayur lodeh, namun hanya tersisa pecel dan sayur lodeh untuk kami. Tak lama setelah kami duduk di bangku kayu panjang ala kadarnya dan tanpa sandaran, datang seorang bapak tua. Sesaat hanya berdiri dalam diam. Mungkin dia sedang berpikir akan duduk di mana, melihat semua bangku telah terisi. Ketika aku beranjak dari tempat dudukku untuk memilih lauk, bapak tua itu telah menempati bangkuku. Akhirnya aku duduk menyelip di antara bapak tua itu dan temanku. Untung saja masih ada space untuk tubuhku yang terhitung tidak lebar ini.

Saat menunggu pesanan kami dibuatkan, seorang pelanggan yang duduk sebangku dengan temanku yang satu lagi telah selesai makan dan beranjak pergi. Akhirnya bapak tua tadi berpindah tempat dari sebelahku ke sebelah temanku. Tak lama setelah bapak tua itu pindah tempat, Bu Mun si pemilik warung berkata kepadanya, “Sop e entek, lodeh ae yo.” Dari cara komunikasi mereka, aku menangkap bahwa bapak tua itu merupakan pelanggan lama.

Akhirnya pesananku datang, sayur lodeh plus telur dadar beserta es milo. Aku yang semula sudah kelaparan, saat itu makan dengan kurang berselera dikarenakan kuah lodeh yang minim dan terasa agak hambar bagi lidahku. Potongan sayur manisanya pun tak lebih dari 10 iris. Tidak sesuai harapan, tapi mau gimana lagi, kupaksakan geligiku untuk mengunyah dan kerongkonganku untuk menelan.

Sembari berjuang menghabiskan makananku, berkali-kali mataku curi-curi pandang ke bapak tua yang tadi. Kuamati gerak geriknya dan cara makannya. Tangannya memegang sendok dengan gemetaran. Ia makan dengan cepat. Suapan demi suapan ia jejalkan ke dalam mulutnya meski mulutnya masih penuh dengan nasi yang belum tertelan. Butiran nasi nampak tercecer di sekitaran piringnya. 

Usai melahap habis nasi di piringnya, bapak tua itu segera menenggak teh manis hangatnya. Tak lama kemudian, temanku yang duduk di sampingnya mengajaknya ngobrol. Sambil berkutat dengan nasiku yang tak kunjung habis, aku mendengarkan mereka bertanya jawab. Rupanya bapak tua itu berprofesi sebagai penarik becak dengan penghasilan yang tak tentu. Makin lama makin sepi penumpang karena orang lebih memilih memakai jasa ojek online daripada jasa kayuhnya. Setelah menghabiskan isi gelasnya, bapak tua itu mengulurkan selembar uang 10 ribuan ke Bu Mun dan segera meninggalkan warung.

Sepeninggalnya, Bu Mun bercerita tentang bapak tua itu. Namanya Samad. Usianya berkisar antara 60 sampai 70 tahun. Sudah tiga hari ini tidak mendapatkan penumpang sama sekali. 

Aku bertanya-tanya, kalau sudah tiga hari tak mendapatkan penghasilan, dari mana ia mendapatkan uang untuk beli makan? Rupanya kalau malam ia bekerja sebagai penjaga di Jalan Krakatau, seruas jalan di kawasan perumahan, dengan upah bulanan. Namun fisik yang sudah renta membuatnya tidak dapak maksimal dalam melakukan tugas. Saat terjadi pencurian, pria berwajah sendu ini tak mampu berbuat apa-apa.

Semenjak ditinggal mati istrinya, pria asal Rengel – Tuban ini sehari-hari tinggal di jalan, karena tidak memiliki tempat tinggal. Anak tiri satu-satunya tidak mau menerimanya dan tidak mau mengunjunginya. 

Saat kelaparan, tubuh pria berperawakan kurus ini akan gemetaran. Semakin lama ia menahan lapar, semakin kuat getarannya. “Pegang gelas sampai tumpah-tumpah isinya. Pegang sendok sampai bercereran nasinya,” cerita suami Bu Mun. 

Akhirnya aku menemukan penjelasan mengapa tadi kulihat Pak Samad memegang sendok dengan gemetaran. Bu Mun yang jatuh iba dengan kondisi laki-laki berkulit gelap ini seringkali menawarkan padanya untuk makan dulu di warungnya meski belum punya uang. Namun rupanya laki-laki yang tak banyak bicara ini merasa sungkan dan lebih memilih menahan lapar.

Mendengar kisah Pak Samad dari pemilik warung dan suaminya, aku merasa trenyuh dan tertampar. Untuk dapat membeli sepiring makanan dan segelas minuman dengan harga Rp. 10.000,- saja Pak Samad harus menunggu berhari-hari. Sedangkan aku ogah-ogahan menyantap makananku.

Setelah membayar makanan kami, kami bertiga pun beranjak meninggalkan warung. Seperti langit masih menyisakan butir-butir halus air yang mengiringi langkah kami kembali ke kantor sekretariat, demikian juga kisah dan pergulatan hidup Pak Samad menyisakan kegelisahan dalam hatiku. 


Surabaya, 9 Maret 2018


*foto: koleksi google