Laman

Senin, 18 November 2013

Orang Miskin Dilarang Sakit



Sore itu, 15 Nopember 2013, gerimis yang telah reda masih menyisakan kelembaban di kolong langit. Mendung masih menggelayut manja di langit...seperti hatiku yang mendung. Aku duduk di kursi kayu di teras tempat praktek dokter ternama yang baru saja kutemui ditemani oleh seorang suster. Tidak ada kata-kata yang tepat untuk menggambarkan perasaanku saat itu, karena aku sendiri juga tidak tahu apa yang kurasakan. Baru setelah malam menjelang tidur, aku menyadari perasaanku yang sebenarnya. Sedih. Karena apa? Karena ternyata aku menangis.


Hepatitis B, dengan jumlah virus yang banyak telah terdeteksi bersarang dalam tubuhku. Jika aku tidak segera melakukan terapi pengobatan, maka akan berujung pada kanker liver dan sirosis, dan tentu saja kematian pada akhirnya. Itupun dengan kemungkinan kesembuhan 7 – 8 orang dari 10 orang menurut dokter. Jika aku termasuk dalam kumpulan 7 – 8 orang tersebut, maka aku sangat beruntung menurut harapan manusia. Aku menyadari sejak dulu bahwa setiap orang pada akhirnya akan meninggal, cepat atau lambat, dengan bermacam penyebab. Namun hari ini aku merasa seakan malaikat kematian sudah mulai bercumbu denganku. Dan karenanya aku menjadi sedih dan takut.  

Bukan hanya soal virus-virus yang harus kuperangi dengan terapi pengobatan yang membutuhkan biaya tidak sedikit yang membuatku sedih. Terlebih, dengan adanya penyakit itu, impianku untuk bergabung dengan suatu tarekat religius dalam waktu dekat ini menjadi kandas. Hampir satu tahun lamanya aku mempersiapkan diri dan berfokus pada tujuan itu hingga hampir tak ada lagi yang tersisa pada diriku saat ini selain harapan untuk bisa segera bergabung dan berkarya dalam tarekat itu. Sejak aku berhenti dari pekerjaanku sebelumnya, aku memang sudah tidak lagi bekerja demi mempersiapkan diri. Hidup dari uang tabungan dan hasil penjualan perhiasan simpananku yang pada akhirnya saat ini sudah hampir tak bersisa. Sebagian besar barang-barang milikku pun sudah kubagi-bagikan pada orang lain. Dan saat ini aku harus memulai lagi dari NOL. Mulai merintis mencari uang untuk menutup biaya terapi pengobatanku yang tidak murah, mulai merintis rencana hidup yang baru. Semua rencanaku menguap dan tersapu oleh angin, entah kemana arah perginya. Yang ada di hadapanku saat ini seakan lorong gelap yang harus kumasuki, yang aku tak tahu apa yang akan kudapati didalamnya dan tak tahu dimana ujungnya. Mungkin sebagian orang mengatakan saat itu aku terlalu percaya diri, bodoh, dan konyol. Tapi bagiku, semua itu kulakukan sebagai perwujudan keseriusan, totalitas, dan pengharapanku. Atau aku yang salah? Entahlah...

Aku percaya bahwa Tuhan mempunyai rencana yang terbaik untuk hidupku maka aku belajar untuk menerima dengan ikhlas semua perubahan mendadak yang terjadi dalam hidupku saat ini meski tidak mudah. Dua hari setelah aku mendapatkan kabar tentang penyakit yang kuderita, aku masih diliputi kesedihan dan dibanjiri air mata. Hingga akhirnya pada waktu aku mengikuti Misa Kudus pada hari Minggu kemarin, mataku tertuju pada sebuah kalimat Antifon Pembuka pada lembaran kertas misa yang ada di hadapanku:
Aku memikirkan rancangan damai, bukan bencana; kamu akan berseru kepadaKu dan Aku akan membawa kamu kembali dari semua tempat pembuanganmu.

Kalimat itu begitu berkesan bagiku dan mengembalikan lagi semangatku. Ditambah lagi dengan peneguhan yang aku dapatkan dari homili yang disampaikan saat itu.

Aku percaya bahwa penyakit yang aku derita dan kandasnya impianku, yang saat ini terlihat seakan-akan sebagai bencana, sebenarnya bukanlah bencana. Aku percaya bahwa Tuhan sedang mengarahkan aku pada jalan yang lain yang pastinya terbaik menurutNya. Aku masih bisa berkarya dengan cara lain. Itu yang aku tanamkan dalam diriku.

Aku juga percaya bahwa Tuhan tidak membiarkan aku sendiri dalam perjuangan hidupku saat ini. Hal ini terbukti dengan hal-hal baik yang kualami, yang meski sederhana tapi merupakan bukti penyertaanNya melalui orang-orang disekelilingku. Kedua kakakku yang dengan sigap membantuku menyediakan berbagai keperluan untuk terapi pengobatanku dan bantuan keuangan, teman-teman dan para sahabat yang senantiasa memberikan doa, penghiburan, peneguhan, dan bantuan, juga seorang sahabat yang meski jauh keberadaannya tapi senantiasa setia menemani hari-hariku dan tak jemu-jemu menyemangatiku. Aku sungguh bersyukur karenanya. Aku adalah orang yang sangat beruntung memiliki semua itu.     

Dengan keadaanku saat ini aku jadi bisa membayangkan bagaimana rasanya menjadi orang yang kurang beruntung dan mengidap penyakit berat. Orang-orang yang kurang beruntung secara materi, orang-orang yang terpinggirkan, orang-orang yang tak memiliki sanak saudara, orang-orang yang dijauhi atau mengalami penolakan karena penyakitnya. Aku hanya bisa membayangkan betapa sedih dan kesepiannya mereka, harus berjuang melawan penyakit tanpa ada orang yang menghibur, meneguhkan, memperhatikan, merawat, apalagi jika tidak ada biaya. Hanya bisa pasrah pada keadaan sambil menanti ajal.

Aku saja yang dikatakan masih sanggup untuk bekerja dan tidak memiliki tanggungan, merasa cukup berat mengusahakan biaya terapi pengobatan sebesar jutaan rupiah tiap bulannya. Apalagi mereka yang sudah tak berdaya secara fisik dan ekonomi untuk mengusahakan biaya pengobatan, terlebih mereka yang masih mempunyai tanggungan keluarga yang harus dihidupi. Uang dari mana yang akan dipakai untuk pengobatan jika untuk kebutuhan sehari-hari saja sudah setengah mati mengusahakannya atau bahkan tidak mencukupi?  

Untuk penyakit-penyakit berat, seperti Hepatitis B contohnya, membutuhkan biaya tidak sedikit untuk terapi pengobatannya. Setelah didapati positif untuk penanda hepatitis melalui tes darah awal yang harganya ratusan ribu rupiah, masih perlu dilanjutkan dengan tes HBV DNA yang harganya bisa mencapai jutaan rupiah. Kemudian biaya terapi pengobatan selama 6 bulan tanpa henti dengan harga obat mencapai Rp. 1.500.000,- per bulannya. Belum lagi biaya tes darah dan kontrol ke dokter setiap 3 bulan. Itu pun untuk hepatitis yang terhitung tidak parah kasusnya. Disamping itu, penderita masih harus menjaga kekebalan tubuhnya agar virus-virus yang sudah menginfeksi tidak semakin merusak liver, dengan cara minum vitamin atau obat herbal lainnya dan makan makanan yang bergizi. Dan kesemuanya itu membutuhkan biaya. Jika untuk hepatitis B harus pantang kacang-kacangan, maka otomatis sumber protein yang murah dari kacang-kacangan harus diganti dengan sumber lain seperti telur dan daging ayam atau ikan yang harganya jauh lebih mahal. Hmmm...seperti sudah jatuh ditimpa tangga pula ya?

Bisa dibayangkan berapa jumlah biaya keseluruhan yang harus dikeluarkan sampai dengan mencapai kesembuhan? Lalu bagaimana dengan penyakit lain yang lebih berat? Memang benar kalimat yang sering aku dengar bahwa ORANG MISKIN DILARANG SAKIT! Karena begitu mereka sakit, terlebih di negeri ini yang notabene akses pengobatan yang layak terbilang cukup mahal dan tidak bersahabat dengan orang miskin, maka bisa dikatakan bahwa mereka hanya bisa menanti ajal menjemput. Sungguh tragis.

Bercermin dari pengalamanku sendiri saat ini, terbersit dalam anganku, seandainya saja aku dapat membentuk suatu wadah yang khusus membantu pengobatan Hepatitis bagi orang kurang mampu. Hmmm....impian yang tidak mudah untuk diwujudkan. Tapi tidak ada salahnya bermimpi kan??? Hehehe...

Pada akhirnya beberapa hari ini aku jadi membayangkan bahwa banyak hal yang sebenarnya bisa kita lakukan untuk membantu mereka yang kurang beruntung yang sedang kesusahan karena mengidap penyakit berat. Tidak perlu muluk-muluk. Dari hal paling sederhana yang tidak membutuhkan modal biaya, kita bisa menjadi teman dan sahabat yang menemani, memperhatikan, menghibur, mendoakan, dan meneguhkan. Hanya dibutuhkan niat dan hati yang tulus untuk melakukannya.

Bagi kita yang mempekerjakan pegawai baik itu pembantu rumah tangga, buruh, sopir, maupun karyawan lainnya, alangkah baiknya jika kita memperlakukan mereka secara manusiawi. Seringkali dalam pengamatanku, mentang-mentang kita sudah mengupah mereka maka kita menuntut mereka bekerja tanpa henti. Mentang-mentang kita merasa level majikan berada diatas mereka maka mereka cukup diberi makanan ala kadarnya, yang penting kenyang dan punya energi untuk bekerja keras. Lebih tragis lagi yang kutemui adalah kamar tidur yang seringkali tidak layak yang diberikan untuk mereka. Hanya sebuah ruangan sempit tanpa ventilasi yang baik dan kasur yang layak, yang penting cukup untuk membaringkan badan. Dengan hal sederhana seperti memberikan kesempatan beristirahat yang cukup, makanan yang cukup bergizi, dan tempat tidur yang layak sebenarnya kita sudah membantu mengurangi kemungkinan terjangkitnya penyakit bagi mereka. Jika hal-hal tersebut tidak terpenuhi maka tentu saja dengan mudahnya daya tahan tubuh akan menjadi lemah dan penyakit akan mudah menyerang, karena  mereka adalah manusia, bukan mesin.

Aku juga membayangkan, seandainya uang yang biasa dikeluarkan oleh setiap orang di muka bumi ini untuk foya-foya seperti makan di restoran mewah, membeli barang-barang mewah yang kurang penting hanya demi gengsi, dan hiburan yang tidak sehat – disisihkan dan dipakai untuk membantu mereka yang miskin, berapa nyawa yang dapat terselamatkan dari kematian sia-sia akibat tidak adanya biaya pengobatan?

Bagi orang-orang yang memiliki keahlian tertentu, bisa saja memberikan penyuluhan dan pemeriksaan kesehatan gratis untuk mereka. Dengan demikian, mereka akan lebih paham akan pentingnya makan makanan bergizi serta menjaga kebersihan dan kesehatan untuk menghindari terjangkitnya dan penularan penyakit.

Tidak cukupnya biaya pengobatan dikarenakan penghasilan yang tidak mencukupi. Penghasilan yang tidak mencukupi seringkali dikarenakan tingkat pendidikan yang rendah sehingga mereka tidak memiliki kesempatan bekerja atau tidak bisa mendapatkan pekerjaan dengan posisi yang cukup baik. Terlebih di negeri ini ijazah masih memegang peranan penting dalam mendapatkan pekerjaan. Dalam hal ini, pembekalan ketrampilan, pemberian kesempatan belajar dan penyediaan lapangan pekerjaan bagi orang miskin bisa dilakukan untuk membantu mengatasinya.

Menurutku masing-masing hal yang dapat kita lakukan diatas itu seperti mata rantai yang bila disatukan dan dilakukan bersama-sama akan membentuk suatu rantai yang kuat dan bisa saja menjadi senjata yang cukup efektif untuk mengupayakan pertolongan kesehatan bagi orang miskin. Jika salah satu tidak dilakukan maka akan menjadi kurang efektif. Hmmm...seandainya saja semua orang di muka bumi ini bisa kompak bersatu padu untuk melakukan sesuai kesanggupannya ya?

Maukah dan beranikah kita ambil bagian menjadi mata rantainya?

Seandainya...


Surabaya, 18 Nopember 2013




  






      

Tidak ada komentar:

Posting Komentar