Laman

Senin, 25 Agustus 2014

Sisa Gaji



“Saya bawa dulu ya mbak. Saya mau ambil gajinya Mbak Min”.
“Oh, yang di kantor lamanya ya?”
“Ya mbak...”
“Semoga sukses ya pak...”

Itulah sepenggal percakapanku dengan Pak Yudi, suami Mbak Min - seorang petugas kebersihan part-timer di kantor tempatku bekerja.

Sore itu, Pak Yudi meminjam motorku untuk pergi melihat lokasi borongan rumah sekaligus mengambil sisa gaji istrinya yang masih tertahan di tempat kerjanya yang lama. Gaji 6 hari kerja plus uang lemburan sebagai petugas kebersihan yang sudah 1 tahun lebih tak kunjung dicairkan oleh majikannya. Jika ditotal berkisar Rp. 600.000,- Tanpa alasan yang jelas uang itu tidak juga diberikan oleh majikannya padahal Mbak Min sudah mengundurkan diri sejak Lebaran tahun 2013.

Mbak Min dan suaminya sudah berulang kali menelepon dan mendatangi rumah majikan dan kantornya untuk menagih uang haknya, namun selalu diberi janji palsu. Berbagai alasan dikemukakan seperti daftar absensinya hilang, masih repot, dan berbagai alasan lainnya. Tak jarang suami Mbak Min sampai marah-marah dan mengancam dengan harapan sisa gaji istrinya segera diberikan. Namun hasilnya masih tetap nihil. Pernah mereka bermaksud untuk merelakan uang tersebut saking putus asanya. Namun beberapa waktu lalu sang majikan mengirimkan SMS yang meminta Mbak Min untuk kembali bekerja padanya maka sisa gajinya akan diberikan. Merasa jengkel, sejak itu suami Mbak Min kembali getol menagih hak istrinya.

Keesokan harinya saat bertemu dengan Mbak Min di ruanganku, aku menanyakan perkembangannya. Katanya dijanjikan akhir bulan Agustus. Hmmm... aku benar-benar tidak habis pikir. Apa susahnya memberikan uang itu kepada Mbak Min. Bagi majikan Mbak Min yang mempunyai sebuah perusahaan besar tentunya uang itu bukanlah nominal yang besar. Tapi mengapa harus diulur-ulur sampai 1 tahun lebih untuk memberikannya? Sedangkan bagi seorang petugas kebersihan part-timer seperti Mbak Min yang suaminya seorang tukang bangunan yang bekerja jika sedang ada garapan, nominal itu sangatlah besar.

Dengan tanpa beban seorang majikan tega menahan hak mantan karyawannya padahal mantan karyawannya itu harus jungkir balik untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dan membiayai sekolah anaknya. Harus gali lubang tutup lubang mencari pinjaman sana sini. Tak jarang aku mendengarkan keluh kesah Mbak Min tentang kondisi keuangan keluarganya. Sementara sang majikan dengan seenaknya tidak mau memberikan uang yang bisa membuatnya sedikit bernafas lega.

Ya... itulah sebuah contoh nyata potret ketidakadilan yang terjadi di negeri ini. Si kaya menindas si miskin. Entah apa alasannya. Apakah si kaya akan langsung jatuh miskin apabila ia memberikan hak si miskin? Aku rasa tidak. Lalu mengapa si kaya bertindak sewenang-wenang seperti itu? Entahlah... Mungkin saja hati nuraninya sudah mati tertimbun kekayaannya.

Jika saja setiap orang di muka bumi ini memiliki empati dan belas kasih terhadap sesamanya, aku rasa kejadiaan seperti yang dialami Mbak Min tidak akan terjadi. Ya... seringkali kita menutup mata, tidak pikir panjang bahkan tidak mau tahu apa dampak dari sikap dan perbuatan kita terhadap orang lain. Alih-alih membantu meringankan beban penderitaan sesama, terkadang kita justru menambah beban tersebut. Mari kita senantiasa memohon rahmat dari Allah agar memiliki kasih yang berlimpah untuk sesama. Jika kita tidak mampu membantu sesama kita, setidaknya kita tidak menyakiti mereka.  




**Surabaya, 25 Agustus 2014**

Tidak ada komentar:

Posting Komentar