Laman

Rabu, 11 Januari 2012

Mbah Sumini : dua tangkup roti tawar dan dua gelas teh manis hangat

Kemarin malam aku dan Mas Heru, seorang relawan sanggar, berkunjung ke rumah Diana dan Anisa, adik-adik dampingan kami. Mereka berdua sama – sama sedang mengalami cedera kaki. Diana kakinya terluka akibat jatuh dari sepeda motor gara-gara saat berboncengan, sepeda motornya nyungsep ke got. Anisa kakinya terkilir dan bengkak gara-gara terjatuh dari mobil yang ditumpangi saat sedang mbonek bersama teman-temannya.

Sebenarnya kami sudah berencana mengunjungi mereka dua hari yang lalu, namun karena hujan terus mengguyur maka kami sepakat menunda keesokan harinya, yaitu kemarin malam.

Saat aku sedang dalam perjalanan menuju sanggar untuk bertemu Mas Heru, hujanpun tiba-tiba turun. Namun aku bertekad untuk tidak membatalkan niatku dan tetap melanjutkan perjalanan. Akhirnya setelah menunggu di sanggar selama beberapa saat, kami memutuskan untuk tetap berangkat mengunjungi Diana & Anisa. Dibawah rintik-rintik hujan kami berboncengan sepeda motor menuju rumah Diana.

Di tengah perjalanan kami berpapasan dengan beberapa adik-adik dampingan kami yang sedang berjalan kaki bersama-sama menuju sanggar. Meski diguyur gerimis dan tak berpayung, mereka tetap semangat datang ke sanggar. Luar biasa. Aku saja seringkali malas untuk berangkat ke sanggar kalau gerimis, padahal aku naik motor dan ada jas hujan. Padahal untuk ukuran anak-anak, jarak dari rumah mereka ke sanggar cukup jauh kalau ditempuh dengan berjalan kaki. Tapi mereka tak menganggap jarak dan gerimis sebagai hambatan. Malunya diriku.

Saat kami tiba, Diana sedang menonton TV di rumah Dicky yang bersebelahan dengan rumahnya. Setelah berbincang-bincang sejenak, kami pun sepakat untuk melanjutkan kunjungan ke rumah Anisa.

Aku dan Mas Heru mengajak dua orang adik Diana – Hosiah dan Putri – untuk turut serta. Setelah sepeda motor kami titipkan didepan rumah Diana, kami pun berjalan menyusuri gang-gang kecil dibawah rintik-rintik air hujan.

Setelah berjalan kaki selama beberapa menit, kami pun tiba di rumah Anisa. Saat kami datang, Anisa sedang duduk di lantai bersama Ratna yang kakinya juga sama-sama terluka akibat terjatuh bersama Anisa saat mbonek.

Kemarin malam adalah kali pertama aku berkunjung ke rumah Anisa. Aku pun melangkahkan kaki memasuki rumahnya. Sebuah rumah petak sangat sederhana berukuran sekitar 3 m x 6 m.

Kami disambut ramah oleh Mbah Sumini, nenek Anisa. Selama ini Anisa memang tinggal berempat bersama kakek, nenek, dan adiknya, Firda. Saat melihat kami duduk tanpa alas di lantai di ruang depan, Mbah Sumini bergegas dan bersikeras meminta kami untuk pindah duduk di dalam kamar. Ya, rumah itu hanya terdiri dari dua ruangan, ruang depan dan ruang tidur yang sekaligus berfungsi sebagai ruang nonton TV .  Akhirnya kami pun pindah dan duduk bercakap-cakap bersama Anisa dan Ratna di lantai kamar yang sudah dialasi kasur gulung. Karena kasur gulungnya tidak terlalu luas maka aku pun hanya ndomprok di pinggiran kasur gulung. Melihat itu Mbah Sumini segera menyodorkan sebuah dingklik plastik kecil kepadaku dan memintaku untuk duduk diatas dingklik.

Sembari bercakap-cakap, aku layangkan pandangan kesekelilingku. Aku tak bisa membayangkan, bagaimana empat orang bisa tinggal dan beraktifitas didalam ruangan yang hanya sedikit lebih besar dibandingkan kamar kosku. Hanya ada sebuah tempat tidur didalam kamar, sehingga mereka harus menggelar kasur gulung di lantai kamar sebagai tambahan tempat tidur. Ya, saat ini kami sedang duduk diatas tempat tidur mereka.

Waktu kami tidak terlalu banyak dan kami harus segera kembali ke sanggar karena Mas Heru akan kedatangan tamu, maka kami pun bermaksud untuk segera pulang. Namun saat hendak berpamitan, Mbah Sumini menahan kami karena ternyata dia telah menyiapkan suguhan untuk kami. Dua tangkup roti tawar plus susu kental manis dan dua gelas teh manis hangat. Akhirnya kami pun kembali ke kamar dan meminum teh yang telah disajikan sambil kembali bercakap-cakap. Mbah Sumini pun ikut nimbrung dan bercerita tentang pekerjaannya, keluarganya, serta kesulitannya untuk membiayai sekolah kedua orang cucunya. Dia juga meminta maaf karena rumahnya sempit dan hanya bisa menyajikan suguhan yang sederhana untuk kami. Dia merasa menyambut kami dengan kurang pantas.

Akhirnya setelah menenggak minuman kami, kami pun pamit pulang. Karena masih kenyang maka kami pun tidak menyentuh roti tawarnya. Saat berjabat tangan dengan Mbah Sumini, tiba-tiba Mbah Sumini menarik tubuhku menempel pada tubuhnya. Dia kemudian memelukku dan cipika-cipiki. Dia merasa sangat senang dan berterimakasih atas kunjungan kami. Aku pun terkejut. Anjrit...kataku dalam hati. Belum pernah aku mendapatkan sambutan dan tanggapan seramah dan sehangat ini sebelumnya saat aku bertamu ke rumah orang lain.

Mbah Sumini memang tidak pernah mengenyam pendidikan dan tidak berlebihan dalam hal materi karena hanya berprofesi sebagai tukang kebun di Rumah Sakit Angkatan Laut Dr. Ramelan (dia sudah mengabdi selama 30 tahun), namun dia mampu memperlakukan tamu yang mengunjunginya dengan cara yang luar biasa. Aku belum pernah merasakan kehangatan dan keramahan sebuah sambutan dan perlakuan seperti yang diberikan oleh Mbah Sumini. Jarang ada orang yang meski berkecukupan mau memberikan yang terbaik  dari miliknya bagi orang lain serta memperlakukan orang lain secara istimewa. Aku pun tidak pernah memperlakukan tamu yang bertandang ke tempatku seperti itu. Malahan seringkali aku merasa ogah-ogahan dan tidak menyuguhkan apa-apa. Fiuuuhh.....

Meski hanya berupa dua tangkup roti tawar dan dua gelas teh manis hangat, Mbah Sumini telah memberikan yang terbaik, karena dia telah memberikan dari keterbatasannya dan disertai dengan ketulusan hatinya. Secara fisik rumahnya memang sempit dan tidak nyaman, tapi entah mengapa aku merasa nyaman berada disana dan muncul perasaan ingin kembali lagi kesana. Kehangatan dan keramahan Mbah Sumini adalah persembahan yang terbaik untuk tamunya. Persembahan yang mampu membuat hatiku merasa nyaman...   


*Surabaya, 11 Januari 2012*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar