Laman

Rabu, 03 Juli 2013

Bapak Tua dan Cangkulnya



Mataku terasa berat. Sulit rasanya untuk dibuka. Badan pun rasanya lengket di kasur, enggan keluar dari bawah selimut yang dari semalam menutupi rapat tubuhku. Tapi bunyi berisik dari alarm HP ku yang tergeletak diatas meja yang jaraknya setengah meter dari kakiku memaksaku untuk bangkit dan mematikannya.


Waktu menunjukkan pukul 06.00. Sesuai kesepakatan dengan ketiga orang temanku -  Mbak Sisca, Ratna, dan Aylie - bahwa kami akan melakukan perjalanan pada pukul 08.00, maka seharusnya aku harus segera bangun dan mandi. Namun rasa kantuk membuatku lebih memilih untuk berbaring dan  memejamkan mata lagi. Sampai akhirnya terdengar suara ketukan di pintu kamar. Teman sekamarku, Aylie, segera membukakan pintu untuk Mbak Sisca yang hendak mengambil peralatan mandi yang tertinggal di kamar kami. Mengetahui teman-temanku sudah bangun semua, maka aku pun segera melesat ke kamar mandi dan membersihkan diri dengan air dingin pegunungan Prigen.

Saat aku keluar kamar seusai mandi, aku baru mengetahui bahwa sedang turun hujan. Akhirnya kami pun harus menunggu hujan reda untuk melakukan perjalanan yang sudah kami rencanakan. Sekitar pukul 09.30, begitu hujan reda, kami pun segera bersiap-siap untuk pergi ke Rumah Pohon di Taman Dayu. Dengan membawa bekal air minum dan makanan ringan secukupnya, kami berjalan kaki melewati jalan tembusan yang berupa jalan setapak.

Hujan yang turun sebelumnya mengakibatkan jalan setapak yang kami lewati menjadi becek dan licin. Kami pun harus berjalan pelan-pelan agar tidak terpeleset. Selain jalanan terbuat dari tanah liat, alas kaki kami yang seadanya membuat kami harus ekstra hati-hati dalam memilih pijakan bagi langkah kaki kami. Kami memilih tanah yang ditumbuhi rumput dan batu-batuan agar kami tidak tergelincir. Alhasil kakiku dan kaki Ratna menjadi bentol-bentol merah serta terasa gatal akibat tergores rerumputan.

Namun ditengah perjuangan tersebut, kami menikmati perjalanan kami. Kami berjalan santai sambil ngobrol dan saling membantu, serta sesekali berhenti untuk berfoto. Pemandangan indah dan hijau yang terhampar disepanjang perjalanan membangkitkan hasrat kami untuk bernarsis ria meski kaki belepotan lumpur dan gatal-gatal.

Sampai akhirnya di sebuah tikungan kecelakaan kecil pun menimpa Aylie. Air hujan yang menggenang membuat jalanan menjadi berlumpur, tidak ada bagian kering atau berumput yang dapat dipijak. Dia yang hanya memakai sandal jepit berusaha melewati jalan tersebut dengan dibantu oleh Mbak Sisca yang sudah terlebih dahulu berhasil melewati genangan lumpur tersebut. Namun malang, kaki Aylie tergelincir dan akhirnya jatuh di genangan lumpur dengan suksesnya. Aku dan Ratna yang ada di belakang Aylie hanya bisa menonton dan berteriak kaget.

Akhirnya karena celana Aylie belepotan lumpur, dengan dibantu oleh Mbak Sisca, dia pun berjalan balik dan membersihkan celananya dari lumpur di sebuah aliran air tak jauh dari tempat terjadinya insiden. Ratna pun mengabadikan momen Aylie yang sedang membersihkan diri, sedangkan aku tetap menunggu di jalan setapak.

Pada saat yang bersamaan, seorang Bapak tua yang pada saat kami heboh berjuang untuk melewati genangan lumpur sedang sibuk mencangkul tanah yang dipenuhi ilalang, tanpa bicara apapun segera berjalan menuju ke genangan lumpur tersebut sambil membawa cangkulnya. Tak disangka, Bapak tua itu menyingkirkan lumpur yang memenuhi jalan setapak itu sehingga dapat dengan mudah dilewati. Seorang pengendara motor yang sedang mengangkut rumput gajah yang muncul tak lama kemudian, yang rupanya mengenal Bapak tua itu pun berkata, “Alhamdulillah” saat melihat jalanan menjadi bersih dari genangan lumpur. Akhirnya dia dan motornya pun dapat melintasi jalan itu dengan aman. Kami bertiga pun akhirnya dapat dengan mudah meneruskan perjalanan kami berkat pertolongan Bapak tua itu.

Aku dan ketiga temanku terharu menyaksikan Bapak tua itu dengan ikhlas berinisiatif membersihkan jalanan dari lumpur yang membahayakan pengendara motor maupun pejalan kaki yang melintasi jalanan itu. Jika mau hitung-hitungan, sebenarnya tidak ada untungnya bagi Bapak tua itu. Toh dia sudah memakai sepatu boot yang aman bagi dia dan dengan mudahnya dia akan dapat melewati genangan lumpur itu. Justru dengan membersihkan lumpur itu waktunya malah terbuang dan pekerjaannya terhenti. Namun ternyata Bapak tua itu tetap dengan rela bersusah payah  membersihkan jalanan dari lumpur demi orang lain. Bisa kubayangkan berapa banyak orang yang akan kesulitan melintasi jalan setapak itu, bahkan mungkin juga menjadi celaka karena terpeleset, seperti yang dialami Aylie. Bahkan mungkin aku dan Ratna pun akan mengalami hal yang sama seperti Aylie, meskipun pada akhirnya Ratna pun mengalami nasib yang sama dengan Aylie di bagian jalan yang lain hehehehehe...

Aku tersentuh melihat apa yang dilakukan oleh Bapak tua itu. Ternyata masih ada orang baik yang melakukan sesuatu untuk orang lain tanpa pamrih. Tanpa perhitungan untung rugi. Masih ada orang yang peduli dengan kepentingan orang lain yang bahkan tak dikenalnya sekalipun.

Seandainya saja bumi ini dipenuhi oleh orang-orang berhati murni serta penuh kasih dan kerendahan hati seperti Bapak tua itu. Apakah selama ini kita berbuat sesuatu bagi sesama kita dengan ikhlas atau dengan pertimbangan untung rugi? Mari kita tanyakan pada hati kita masing-masing.

Seandainya saja aku bisa meneladanimu, Bapak tua...    



Prigen, 23 Juni 2013  


2 komentar:

  1. Terima kasih Luciele untuk tulisan refleksi ini...

    Dengan sapaan dan tindakannya, beliau mengajari akan "kasih" yang tak bersyarat dan tak menghitung untung-rugi.

    Semoga pengalaman-pengalaman ini akan semakin mengasah kepekaan kita untuk "menjadi" pribadi yang baik.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Amin...
      Terima kasih sudah berkenan membacanya. Sekarang saatnya untuk meneladani dan mempraktekkannya. Mari kita saling mengingatkan untuk menjadi pribadi yang lebih baik :)

      Hapus