Laman

Selasa, 17 September 2019

Mama Adalah Payung Keluarga


Mama adalah payung keluarga. Kalimat itu pertama kali kudengar dari adik perempuan mama saat menasehati aku tak lama setelah mama berpulang ke Sang Empunya Hidup.
Aku percaya saja dengan yang diucapkan bibiku itu meski belum 100 persen mencerna apa yang dimaksud. Mengapa? Karena diucapkan oleh seorang anak yang sudah merasakan ditinggal pergi ibunya untuk selama-lamanya.


Tak butuh waktu lama untuk membuktikan kalimat itu. Sepeninggalnya mama, biduk keluarga kami mulai goyah. Ibarat puzzle yang sudah tersusun lalu jatuh ke lantai hingga terserak berkeping-keping. Setidaknya itu yang kurasakan sebagai anak bungsu, satu-satunya anak mama yang masih bertahan dalam kesendirian.

Mama adalah sosok tulang punggung di keluarga kami. Selama ini beliau yang mengendalikan laju bahtera keluarga kami. Dari segi ekonomi, mama berjuang mati-matian menghidupkan ekonomi keluarga. Memutar otak demi semua anaknya dapat mengenyam bangku kuliah. Merajut tenun perekonomian keluarga, tentunya dengan bantuan dari berbagai pihak dalam keluarga besar mama.

Masa kecil aku habiskan di dalam rumah berlantai semen biasa yang sebagian tembok sisi belakangnya berkawat ayam, beserta pagar bambu dengan lubang di sana-sini mengitari halaman rumah kami. Namun saat remaja, aku bisa menikmati rumah yang lebih luas berlantai keramik yang 100 persen dindingnya berupa tembok, serta 100 persen pagar rumahku berwujud tembok.

Dari cerita para bibiku sepeninggal mamaku, sedikit demi sedikit kisah jatuh bangun dan kisah pilu mamaku terkuak. Bagaimana mamaku berusaha memberikan yang terbaik untuk anak-anaknya, meski semakin ke belakang kondisi keuangan mulai menurun. Selalu berusaha membantu perekonomian anak-anaknya meski diri sendiri tidak berlebihan. Diam-diam berusaha menyiapkan aset untuk diwariskan pada anak-anaknya sebagai bekal di masa depan mereka, meski dengan susah payah dan tertatih-tatih. Meski harus menghadapi banyak hujatan bahkan dari buah rahimnya sendiri. Sungguh, kasih dan hati ibu seluas semesta.

Setelah kepergian mama, aku merasa pontang-panting. Ternyata tidak mudah mengurus keluarga. Papa terpaksa tinggal di rumah usiawan, toko usaha keluarga terpaksa ditutup, dan rumah keluarga di desa akhirnya kosong tak terurus. Papa yang selama hidupnya banyak bergantung pada mama, sepeninggalnya mama menjadi down, tak sanggup mengurus dirinya sendiri dengan layak.

Seiring dengan waktu, bayangan dan kenangan akan mama bukan semakin memudar, melainkan justru menguat. Semenjak kepergian mama, tak berani aku memandangi foto mama terlalu lama. Tak sanggup mendengarkan lagu-lagu mandarin kenangan. Tak kuasa membaca dan menonton video atau film yang mengisahkan tentang sosok ibu. Semuanya itu membawa ingatanku terbang ke sosok perempuan yang melahirkanku. 

Hatiku hancur. Setiap kali teringat akan mama, air mata tak lagi dapat terbendung. Terlebih mengingat saat-saat terakhir mama di ICU dengan tangan terikat dan berbagai selang memasuki tubuhnya. 

Semua bayang-bayang itu berusaha aku tepis jauh-jauh agar aku tetap tegar. Namun sia-sia. Begitu banyak malam aku lewati dengan berurai air mata. Meringkuk di sudut pembaringan sambil berseru dalam hati, "Tuhan, aku kangen mama."

Kini yang tersisa hanya penyesalan. Mengapa dulu aku tak memanfaatkan waktu sebaik mungkin saat mama masih dapat kusentuh dan kudekap. Mengapa aku dulu sibuk dengan urusan dan kesenanganku sendiri. Mengapa aku dulu begitu cuek dan dingin. Kini, sudah 1000 hari lebih aku hanya bisa memeluk sosok tanpa wujud. Hanya bisa bertemu dalam mimpi.

Meski dulu kami sering tidak sependapat. Meski dulu kami sering bersitegang. Namun selalu ada pijakan yang siap menopang kakiku. Selalu ada rumah yang menerimaku pulang saat aku lelah. Selalu ada sosok malaikat pelindung yang pasti menjagaku meski dari jauh. Selalu ada payung tempatku bernaung di tengah hujan badai.

Kini, payung itu telah direnggut dariku. Dari keluargaku. Sekarang kami basah dan kedinginan. Sepi. Hampa.

Mama, aku rindu. Jika waktu bisa diulang, aku ingin menebus semua waktu yang telah terhilang. Jika waktu bisa diputar kembali, aku ingin menikmati kebersamaan kita.

*** Catatan sebuah hati ***
Surabaya, 17 September 2019

Tidak ada komentar:

Posting Komentar