Laman

Minggu, 13 Oktober 2019

Belajar Dari Film Joker


Saya bukanlah orang yang tergila-gila nonton film di bioskop. Saya bahkan tidak pernah tahu film-film terbaru yang sedang diputar di bioskop dan saya pun tidak berminat untuk mencari tahu. Selama hidup ini, frekuensi saya nonton film di bioskop tidak lebih dari 40 kali. Inisiatif nonton itu pun sangat jarang datang dari diri saya sendiri. Kebanyakan karena diajak teman. Karena alasan menjalin silaturahmi dan demi kebersamaan, saya mengiyakan ajakan itu.


Maka jangan tanya saya perbandingan nonton di bioskop A dan B, manakah yang lebih nyaman? Bagi saya semua sama saja. Yang terpenting bagi saya bukan soal kualitas suaranya, ukuran layarnya, luas atau sempit ruangannya, melainkan duduk di deretan mana dan harganya bersahabat atau tidak dengan kantong hehehehe… Lha wong nonton film lama di layar ponsel saja saya bisa menikmati kok. Yang penting bukan film horor.

Amat sangat jarang saya merasa antusias ingin menonton film tertentu. Seingat saya, film yang pernah membuat saya antusias ingin menonton di bioskop adalah film Everest. Kenapa coba? Karena saat itu saya sedang berada dalam masa-masa jatuh cinta dengan yang namanya hiking di gunung. Lalu film yang kedua adalah Joker. Namun antusiasme itu tidak langsung muncul begitu saja ketika mengetahui bahwa film Joker tayang.

Pertama kali saya mengetahui diputarnya film Joker dari beranda Facebook. Maraknya postingan meme dengan topik Joker dan beberapa ulasan serta komentar tentang film Joker tidak juga memikat hati saya. Terlebih beberapa yang bernada negatif membuat saya makin tidak tertarik dengan film itu. Sampai akhirnya saya membaca satu ulasan dari seseorang (saya lupa namanya) yang membuat saya tergelitik. Dari ulasan itu saya menangkap bahwa dari film Joker yang sarat dengan adegan kekerasan, ada sesuatu yang bisa saya pelajari. Dari situlah antusiasme saya muncul. Penasaran. Tapi juga takut. Kuatir kalau-kalau film itu membawa pengaruh buruk buat saya. Namun rupanya kekepoan saya lebih besar. Gayung pun bersambut. Beberapa teman yang lain juga berminat untuk nonton dan jadilah kami bertiga nonton tadi malam.

Perasaan sedih menggelayuti hati saya selama nonton film ini. Saya dibuat bisa merasakan kegetiran hidup tokoh utama. Bahkan hingga keluar dari ruang bioskop pun hati saya terasa penuh sesak seperti ada sesuatu yang mengganjal. Seperti gagal move on. Perasaan dan pikiran saya terusik oleh kesadaran bahwa inilah yang sering terjadi dalam kehidupan nyata masyarakat kita. Terkadang saya adalah Joker di kehidupan sehari-hari. Namun seringkali saya adalah orang-orang yang ada di kehidupan Joker. Baik itu ibunya, atasannya, teman kerjanya, tetangganya, maupun siapa saja yang bersentuhan secara langsung dan tidak langsung dengan kehidupannya. 

Saya bukan seorang ahli psikologi atau pun pakar pengulas film. Apa yang saya ingin tulis di sini adalah refleksi saya pribadi. Hal-hal yang bisa saya pelajari dari film yang banyak mendapat komentar miring dari netizen. Sebagai pengingat bagi diri sendiri. Syukur-syukur kalau juga bermanfaat bagi teman-teman yang lain.

Arthur alias Joker, tokoh utama dalam film ini, digambarkan sebagai sosok penderita gangguan mental. Merupakan anak adopsi dari seorang perempuan yang juga terganggu mentalnya. Saat kecil pernah menjadi korban kekerasan dari pacar ibu angkatnya dan ibu angkatnya melakukan pembiaran terhadap hal ini. Saat dewasa hidup dalam kemiskinan di lingkungan yang penuh dengan kekerasan verbal dan fisik. Sang ibu menjulukinya "Happy", mengharapkannya selalu tersenyum dan membuat orang lain tersenyum. Namun perjalanan hidupnya yang diwarnai dengan kepahitan demi kepahitan secara terus menerus membuatnya tidak pernah merasa bahagia. Sangat bertolak belakang dengan nama julukannya.

Arthur sebenarnya merasa ada yang salah dengan dirinya dan punya keinginan untuk sembuh. Rutin melakukan konsultasi dengan psikiater dan rutin minum obat. Namun sistim yang tidak berpihak pada masyarakat lemah, membuat Arthur kehilangan kesempatan mendapatkan perhatian dan pertolongan. Layanan terapi gratis dihentikan oleh pemerintah. Arthur kehilangan seseorang yang mau mendengarkan cerita-cerita dan kegelisahannya. Kehilangan teman bicara. Dia merasa semakin sendirian dan kesepian. Tidak ada lagi orang yang mau mengerti akan kondisinya. Dia kehilangan satu-satunya penolongnya.

Meski terganggu mentalnya dan terseok-seok dalam menjalani kehidupan, Joker berusaha sekuat tenaga untuk hidup normal. Memiliki pekerjaan yang oleh sebagian orang dipandang rendahan, untuk bertahan hidup. Menyayangi dan merawat ibunya yang jompo.

Sosok Arthur, seorang badut sewaan yang tugasnya menghibur orang lain, sebenarnya banyak kita temukan dalam kehidupan nyata masyarakat kita. Mewakili pribadi yang tidak pernah diperhitungkan dan selalu diremehkan karena status sosialnya. Mewakili mereka yang tidak pernah didengarkan. Mewakili mereka yang tidak mendapatkan kepercayaan. Mewakili mereka yang difitnah. Mewakili mereka yang tidak dimengerti impian dan kondisinya. Mewakili mereka yang tidak pernah diperdulikan perasaannya. Hanya dituntut untuk bisa ini itu tanpa diajak bicara. Dipermainkan demi kesenangan orang-orang yang tidak memiliki empati. Tidak perduli apakah ucapan, sikap dan tindakan itu menyakiti orang lain. Tidak perduli apakah yang dibully itu pernah memiliki pengalaman traumatis atau pengalaman buruk.

Kita tidak pernah tahu seberapa kelam dan seberapa berat kehidupan seseorang. Hanya karena orang itu terlihat baik-baik saja secara fisik bukan berarti dia baik-baik saja secara psikologis. Kalau dia terlihat tegar dan ceria, bukan jaminan 100% bahwa hidupnya bahagia dan baik-baik saja. Bisa jadi karena itulah yang dituntut darinya. Bisa jadi itu yang harus diperankannya demi bertahan hidup. Kita tidak pernah tahu badai demi badai yang sudah dilaluinya. Kita tidak pernah tahu seberapa rapuh sebenarnya dia.

Dari film Joker saya belajar bahwa penting untuk memberikan orang lain kesempatan. Kesempatan untuk didengarkan. Kesempatan untuk dimengerti kondisinya. Kesempatan untuk dipercaya pembelaannya. Kesempatan untuk membuktikan kemampuannya. Kesempatan untuk mewujudkan impiannya. Kesempatan untuk diakui bahwa ia ada.

Saya juga belajar bahwa penting untuk berempati. Kalau saya berada di posisinya, bagaimana kira-kira  perasaan saya. Karena saya tidak pernah tahu badai apa saja yang sudah menghempas biduk kehidupannya. Karena saya tidak pernah tahu seberat apa harinya.

Saya juga belajar, bahwa sekuat apa pun seseorang, kalau tidak mendapatkan dukungan dari lingkungannya, maka bisa fatal akibatnya. Manusia adalah manusia. Bukan mesin tanpa perasaan. Punya kelemahan. Punya titik jenuh. Manusia butuh malaikat tanpa sayap yang bernama ‘teman’.  

Surabaya, 13 Oktober 2019

Tidak ada komentar:

Posting Komentar