Laman

Senin, 15 Agustus 2011

Cahaya

Gadis itu duduk disampingku. Tak bersuara. Kepalanya tertunduk. Wajahnya sejajar dengan lantai teras. Tak ada gerakan berarti yang ia lakukan. Hanya sesekali mempermainkan kuku-kuku jarinya.

Kulihat jam tanganku. Lima menit berlalu sejak kami duduk di bangku panjang ini dalam diam. Aku pun tak sabar lagi. Kubuka percakapan dengan suara tersendat. “Jadi, akankah kau diam saja?”

Gadis itu, Cahaya, mengangkat wajahnya yang tanpa ekspresi sambil menoleh kearahku. Tak ada cahaya yang bersinar dari matanya. Yang kutangkap hanyalah kegelisahan.

“Bicaralah... Katamu banyak hal yang ingin kau sampaikan padaku,” ujarku datar.

“Aku bingung harus memulainya darimana,” jawabnya lirih sambil matanya menatap lurus kearah pepohonan yang ada di depan kami.

“Aku sabar menunggu,” kataku pelan.

“Aku takut...”

“Apa yang kau takutkan?”

“Kematian.”

Aku menoleh kearahnya. Matanya menerawang jauh. Angin sepoi-sepoi menerbangkan rambutnya perlahan.

“Bukankah setiap orang cepat atau lambat pasti akan mati?” aku menimpali.

“Aku merasa ada bom waktu dalam tubuhku, yang sewaktu-waktu siap meledak. Menghancurkan aku...” katanya dengan ekspresi wajah yang dingin.

Aku diam saja. Bingung. Belum menangkap apa maksud kata-katanya itu. Yang aku tahu, dia mengatakannya dengan serius. Aku dapat merasakan bahwa banyak yang ingin ia ungkapkan.

“Lanjutkanlah... Bicaralah dengan lebih jelas. Aku tidak mengerti,” kataku kemudian dengan rasa ingin tahu.

“Virus-virus dalam tubuhku ini siap menggerogotiku," ujarnya penuh kegelisahan sambil mengeluarkan seberkas kertas dari dalam tasnya dan menyodorkannya padaku.   

Kulihat nama sebuah rumah sakit ternama di bagian atas kertas itu.

“Rasanya seperti patah hati. Sakit sekali disini...” Cahaya memegang dadanya. “Aku seperti merasakan kembali apa yang kurasakan pada waktu itu, pada saat aku mengetahui dia yang sangat kucintai tak dapat aku miliki,” lanjutnya kembali.

“Kenapa kau tidak berobat?” tanyaku.

“Darimana aku bisa mendapatkan uang ratusan juta rupiah untuk biaya pengobatan yang bahkan tidak menjamin kesembuhan?” jawabnya.

“Lalu kau diam saja?” tanyaku.

“Menurutmu apa yang harus kulakukan?”

Aku terdiam. Tidak tahu harus bicara apa. Otakku tidak bisa berpikir.

“Aku tidak tahu. Tidak tahu harus bagaimana. Aku pasrah. Aku tidak peduli. Apapun yang akan terjadi, biarlah terjadi,” lanjutnya. “Sepertinya aku hanya berharap pada mukjizat yang pernah dilakukanNya padaku melalui TubuhNya. Setiap kali aku menyambut Komuni Kudus, aku selalu mengatakan Selamat datang Tuhan Yesus. Selamat datang dalam hatiku. Jika Engkau mau, semoga TubuhMu yang kudus ini menyembuhkan sakit penyakitku.”  Sembari mengucapkan itu, jari-jarinya menempel erat di dadanya.

“Orang tuamu sudah tahu?” tanyaku lagi.

“Apa kau sudah gila? Mereka bisa mati merana kalau aku memberitahukan pada mereka. Mana mungkin aku membiarkan mereka hidup dalam kekuatiran yang tak berkesudahan?” jawabnya dengan suara meninggi. Matanya berkaca-kaca. Dia memalingkan wajah. Berusaha agar air matanya tidak menetes.

Ya, aku tahu dia tidak dapat melakukannya. Cahaya, gadis itu, aku sudah bersamanya selama puluhan tahun. Orangtuanya sering menangis karenanya, tetapi batinnya pun sering menangis karena memikirkan mereka. Entah sudah berapa banyak air matanya yang tertumpah. Aku bisa merasakan kepedihannya. Pergolakan didalam hatinya.

“Ada yang mengatakan kalau aku hidup berdampingan dengan penyakit. Selamanya akan seperti ini. Aku masih muda. Aku baru saja melangkahkan kaki untuk berlari mengejar mimpiku. Masihkah aku dapat meraih mimpiku? Katakan padaku, kenapa ini harus kualami?” Suaranya bergetar.

“Aku tidak tahu... Tapi yang pasti, Tuhan pasti punya rencana indah dibalik semua ini. Soal impianmu dan semua rencana-rencanamu, serahkanlah padaNya. Jangan lupa, rencana kita bukanlah rencanaNya,” jawabku lirih.

“Inikah alasannya kenapa kamu tetap ingin sendiri?” tanyaku menyambung.

“Ini bukan alasannya. Aku ingin mempunyai hidup yang lebih bermakna. Tapi aku rasa, hal ini memperkuat alasanku untuk tetap sendiri,” jawabnya cepat. “Aku bertanya-tanya, apakah memang Dia menghendaki aku tetap sendiri. Apakah ini jalan bagiku untuk tetap sendiri,” lanjutnya.

“Bagaimana perasaanmu saat ini?” tanyaku.

Cahaya diam. Menarik nafas dalam-dalam sambil memejamkan matanya. Dihembuskannya nafasnya perlahan-lahan. Beberapa detik berlalu sampai kemudian ia bersuara, “Aku takut...”

Kulihat air matanya mengalir dari kedua matanya. Matanya tetap terpejam.

“Belum tentu kau akan mati karena sakitmu ini, Cahaya. Siapa yang bisa tahu apa yang akan terjadi besok, lusa, bulan depan atau beberapa tahun yang akan datang? Mungkin saja kau akan sembuh. Janganlah mengkhawatirkan hal yang belum pasti terjadi. “

 “Rasanya sakit sekali... Kata mereka, dia memakai morfin untuk menahan rasa sakitnya. Hanya morfin yang bisa membuatnya bertahan di saat-saat terakhir hidupnya. Tidak ada lagi obat-obatan yang berguna lagi.”

“Siapa yang kamu maksud?” tanyaku tak mengerti.

“Dua orang yang aku kenal meninggal karena sakit yang sama. Hanya dalam jangka waktu tiga bulan sejak aku mengetahui bahwa aku seorang carrier.”

Aku tak mampu bersuara. Aku hanya bisa memandangi Cahaya yang matanya menerawang jauh sambil dibanjiri air mata. Ia tampak tidak tenang. Aku bisa merasakan ketakutan dan rasa sakit di dadanya.

“Dia hanya bertahan satu bulan saja. Dia meninggal dalam sakit yang luar biasa.... Aku takut... Aku takut merasakan sakit itu...” Tangisnya meledak.

Kubiarkan dia tenggelam dalam tangisnya. Aku tak kuasa melihatnya. Kupalingkan wajahku sambil membayangkan apa yang telah diucapkannya. Membayangkan rasa sakit itu.

Beberapa menit berlalu. Aku tidak lagi mendengar isak tangisnya.

“Aku tidak mau orangtuaku menemukan aku dalam rasa sakitku itu,” ujarnya lirih. “Hati mereka sudah cukup hancur selama ini. Apa yang akan terjadi seandainya mereka mendapati bahwa anak yang sangat diharap-harapkan ternyata sedang sekarat?”

Pikiranku melayang. Membayangkan kedua orangtua Cahaya yang memang mudah kuatir. Aku pun tidak akan sanggup membiarkan mereka menyaksikan hal itu.

“Kau yakin akan merasakan rasa sakit itu?” tanyaku datar.

Cahaya tak bereaksi.

“Belum tentu kau dapat tetap hidup sampai kau tiba pada saat-saat itu. Bisa saja kau mati sebelum sel-sel hatimu dipenuhi dengan sel kanker. Bisa saja kau mati akibat kecelakaan atau penyakit lain jauh sebelum hal itu terjadi,” lanjutku.

“Maaf kalau aku bicara kasar, tapi itulah yang sebenarnya. Siapa yang tahu umur manusia selain Tuhan sendiri? Untuk apa kau berandai-andai? Membayangkan dan mereka-reka hal yang belum tentu terjadi adalah konyol. Tak ada gunanya. Kalau kau begini terus, aku malah lebih percaya kau bakal mati akibat kekuatiranmu, bukannya akibat penyakitmu itu.”

Cahaya diam.

“Apakah ini akibat dosa-dosaku di masa lalu?” tanyanya sambil matanya menerawang jauh.

Ingatannya kembali ke masa lalu.

“Bisa ya, bisa juga tidak. Aku tidak tahu.” tukasku.

Aku memang pernah mendengar tentang hal ini. Selain di Api Penyucian, sebagian hukuman sementara akibat dosa bisa dilunasi dengan penderitaan selama hidup di dunia. Hal ini bisa saja berupa sakit penyakit. Tapi aku tidak mau bicara banyak soal misteri ini.

“Tapi yang aku tahu, Tuhan tidak membiarkan semua ini terjadi tanpa maksud. Selalu ada hikmah dibalik setiap kejadian dalam hidup kita. Mungkin saat ini kau tidak bisa melihatnya, tapi suatu saat nanti kau akan mengerti dan melihat bahwa rencanaNya adalah yang terindah. Percayalah dan bersandarlah padaNya,” lanjutku.

Cahaya tetap terdiam. Larut dalam pikiran dan perasaannya. Kupikir dia pasti sedang berusaha mencerna ucapanku tadi.

“Kalaupun memang benar umurmu tidak lama lagi, kau masih bisa melakukan sesuatu yang bermakna selagi masih ada waktu. Arti hidup ini tidak dilihat dari seberapa lama kita hidup di dunia ini, tetapi dari bagaimana kita mengisi hari-hari kita selagi masih hidup. Tidak penting apakah kita bisa mencapai umur 30 tahun, 60 tahun, atau bahkan 100 tahun. Yang penting adalah apakah kita sudah melakukan kehendakNya. Apakah kita sudah melakukan perbuatan kasih selama hidup. Mempunyai kesehatan prima dan umur panjang tapi tidak melakukan apa-apa ya percuma. Saranku, tetaplah berkarya selagi masih ada waktu,” kataku panjang lebar.

Dari dalam rumah sayup-sayup terdengar alunan lagu dari tape compo yang menyala sejak sebelum Cahaya datang kepadaku. Entah sudah berapa banyak lagu yang mengalun tanpa kami sadari. Kami berdua terlalu sibuk dengan hati dan pikiran kami yang campur aduk.

Melewati lembah duka semu
Jalanku gelap dan ngeri
Tuhan ku perlu pertolonganMu
S’bab ku tak dapat jalan sendiri

Ku tak dapat jalan sendiri
Tuhan tolonglah daku
Biarlah sinarMu menerangiku
S’bab ku tak dapat jalan sendiri

Tiada orang yang menolong daku
Ku sangat lemah dan letih
Jalanlah Tuhan dekat padaku
S’bab ku tak dapat jalan sendiri

Cahaya, engkau seharusnya tetap bersinar, sebab engkau adalah cahaya. Tak akan kubiarkan cahayamu menjadi pudar, sebab aku berharap cahayamu dapat menerangi kegelapan...membawa terang bagi mereka yang berada dalam kegelapan.  

Aku adalah engkau dan engkau adalah aku. Kita akan selalu bersama, tak terpisahkan...selamanya akan tetap begitu...
Cahaya, tetaplah bersinar...

** Surabaya, 11 Agustus 2011 **

Tidak ada komentar:

Posting Komentar