Laman

Senin, 15 Agustus 2011

Cintaku pada Yesus hanya dibibir saja

Tulisan ini kubuat untuk:
  • Diriku sendiri – sebagai pengingat ketika suatu saat aku mengalami hal serupa.
  • Teman-temanku yang sedang berjuang, yang mungkin saat ini sedang merasa ‘lelah’. Mudah-mudahan tulisan ini dapat memberikan semangat dan membantu untuk bangkit kembali.


Sekali lagi aku terbaring lemas diatas kasur bersprei putih, dengan selang infus menancap di punggung telapak tangan kiriku.
Ya, untuk ketiga kalinya dalam 3 tahun berturut-turut ini aku harus menjalani rawat inap di rumah sakit. “Langganan kok rumah sakit!”, demikian disampaikan salah seorang kakak perempuanku yang selama ini menjadi orang paling direpoti setiap kali aku harus opname. Teman-temanku sepertinya memiliki pendapat yang sama. Aku terlalu kecapekan. Keseringan pulang malam. Menurut mereka aku harusnya bisa membatasi diri mengingat kondisi badan yang ‘rapuh’ ini.

Memang, kelelahan fisik seringkali kurasakan dengan kegiatan rutin setiap hari Senin sampai dengan Jum’at sepulang kantor yang kujalani selama ini. Tak ada lagi waktu bagi diriku sendiri untuk menikmati hidup. Tak ada lagi waktu untuk berjalan-jalan di mall atau sekedar melakukan kegiatan refreshing lainnya. Ajakan teman untuk pergi bersenang-senang bersama seringkali kutolak. Pada Hari Sabtu dan Minggu aku hanya bisa terkapar tak berdaya di kamar kos. Hanya pada 2 hari inilah waktuku untuk melakukan kegiatan bersih-bersih kamar, mencuci baju, dan beristirahat, itupun kalau tidak ada kegiatan lain yang harus kulakukan.

Menyapa Tuhan dalam doa pun seringkali terbengkalai dan hanya menjadi sapaan sekedarnya yang terburu-buru tanpa keintiman. Bersatu dengan Kristus melalui Komuni Kudus dalam Misa Harian pun terabaikan. Kelelahan fisik memudarkan kerinduan untuk berbicara dari hati ke hati dan bersatu denganNya. Kesempatan untuk menjadi Lektor yang selama ini kuimpikan, dengan berat hati kulepas dikarenakan kekhawatiran tidak bisa memenuhi komitmen karena minimnya waktu. Tak ada lagi waktu untuk membaca buku maupun artikel yang menjadi sumber inspirasi dan peneguhan bagiku. Aku kehilangan energi…

Seringkali aku merasa terlalu lelah dengan semua ini dan membuat aku mempertimbangkan untuk mengurangi jadwal pendampingan belajar bagi anak-anak pinggiran yang kujalani selama ini. Tapi rasa sayang untuk melepas membuatku tetap bertahan. Tapi sakit yang kualami untuk kesekian kalinya ini serta nasehat dari teman-teman menggoyahkan pertahananku. Sampai kapan aku harus seperti ini? Kehilangan kesempatan untuk melakukan hal-hal yang aku sukai dan aku inginkan. Aku harus mengurangi jadwal pendampinganku. Aku harus menyediakan waktu untuk diriku sendiri. Tapi entahlah… Aku lelah dan bingung…

Hari ini, Jum’at tanggal 18 Pebruari 2011. Kubuka sebuah buku renungan harian bercitarasa Katolik. Bacaan Injil hari ini Markus 8:34 – 9:1.

Setiap orang yang mau mengikuti Aku, harus menyangkal diri, memikul salibnya, dan mengikuti Aku. Karena barangsiapa mau menyelamatkan nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya; tetapi barangsiapa kehilangan nyawanya karena Aku dan karena Injil, ia akan menyelamatkan nyawanya. Apa gunanya seseorang memperoleh seluruh dunia, tetapi kehilangan nyawanya? Karena apakah yang dapat diberikannya sebagai ganti nyawanya?”

Kubaca renungan yang dipaparkan oleh seorang Romo penulis sebagai berikut:

Menyangkal diri, memikul salib dan mengikutiNya adalah salah satu syarat bagi para pengikutNya. Dapat dikatakan, pengikut Yesus harus berani melawan egoisme, karena egoisme adalah ibu dari segala dosa. Tidak semua derita dapat dikatakan sebagi salib. Dari salib Kristus, kita dapat memahami bahwa salib merupakan ‘jalan derita’ yang tidak bisa ditolak tetapi bukan akibat kesalahan kita. Jika kita berani berkurban untuk memikul salib, kurban itu memiliki nilai keselamatan. Salib selalu diintensikan untuk orang lain, seperti Yesus memanggul salib demi keselamatan orang lain.

Berani kehilangan nyawa atau hidup manusiawi adalah syarat selanjutnya. Kehilangan nyawa berarti hidup sebagaimana Allah hidup, bukan seperti ‘kemauanku’ sendiri; hidup sesuai kehendak Allah. Itulah cara seseorang bisa menyelamatkan nyawanya, yang tidak mungkin dibeli dengan harta sebanyak apapun.

Ketakutan seseorang untuk berkurban sampai tuntas (kehilangan nyawanya) menjadikan dia tak sepenuhnya dapat menjadi murid Kristus secara optimal.
Identitas kita adalah murid Kristus yang tersalib. Hidup Kristen yang mulai menyisihkan salib memang perlu diragukan kekristenannya. Soalnya, Allah Bapa telah memilih satu-satunya jalan untuk menyelamatkan manusia, yakni melalui jalan salib.

Aku merenung. Sudahkah aku berani melawan egoisme diriku? Sudahkah aku keluar dari diriku sendiri? Sudahkah aku hidup sesuai kehendak Allah dan bukannya seperti ‘kemauanku’ sendiri? Sudah beranikah aku berkurban sampai tuntas demi orang lain yang membutuhkan? Sudah beranikah aku memikul salibku?

Tidak! Selama ini aku masih egois. Masih memikirkan kepentinganku sendiri. Takut untuk berkorban dan menderita bagi orang lain. Tidak ikhlas kehilangan waktuku untuk sesama yang membutuhkan. Tidak ikhlas mengorbankan kebiasaan-kebiasaanku demi sesama yang membutuhkan. Aku tidak mau hal-hal yang aku sukai dan aku inginkan terlepas dari genggamanku. Parahnya lagi, aku belum sungguh-sungguh mencintai Yesus!!!

Bagaimana mungkin aku belum sungguh-sungguh mencintai Yesus? Ya, kusadari aku memang belum sungguh-sungguh mencintai Yesus. Kalau aku sungguh-sunguh mencintaiNya, maka aku akan melakukan semua yang disukai dan dikehendakiNya. Kalau aku mencintaiNya, aku akan selalu berusaha membuatNya bahagia dan bukannya melakukan hal-hal yang menyedihkanNya.
Dalam Matius 25 : 40 bukankah Yesus berkata, “sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudaraKu yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku.” Dan dalam Matius 25 : 45 Ia berkata, “sesungguhnya segala sesuatu yang tidak kamu lakukan untuk salah seorang dari yang paling hina ini, kamu tidak melakukannya juga untuk Aku.” Bukankah Yesus hadir tersamar dalam diri sesama kita, terutama mereka yang miskin dan menderita?

Kalau aku berpikir dua kali untuk meluangkan waktuku bagi anak-anak pinggiran yang aku dampingi dan membutuhkan kehadiranku, bukankah itu berarti aku sudah berpikir dua kali untuk meluangkan waktuku bagi Yesus? Kalau aku mengurangi waktuku bagi anak-anak itu, bukankah itu berarti aku mengurangi waktuku untuk Yesus? Kalau aku tidak ikhlas memberikan waktuku bagi anak-anak itu, bukankah itu juga berarti aku tidak ikhlas memberikan waktuku bagi Yesus? Kalau aku tidak mau berkorban demi anak-anak itu, bukankah itu berarti aku juga tidak mau berkorban bagi Yesus? Bukankah itu semua berarti aku sudah membuat Yesus sedih? Bukankah Yesus menghendaki aku mencintaiNya dengan tulus, melakukan segalanya bagiNya dengan ikhlas, melakukan perbuatan kasih bagi sesama?

Selama ini aku mengeluh karena lelah, kehilangan kesempatan menikmati hidup dan melakukan hal-hal yang aku inginkan, serta kekurangan waktu beristirahat, khawatir sakit akibat kelelahan. Lalu bagaimana aku bisa berkata bahwa aku sungguh-sungguh mencintai Yesus kalau sikap dan perbuatanku tidak mencerminkan orang yang sungguh-sungguh mencintai? Bukankah mencintai berarti berani berkorban bagi orang yang dicintai? Ternyata selama ini aku sudah sering ‘menggombali’ Yesus. Berkata mencintaiNya tapi sering tidak bisa membuktikannya dalam perbuatan nyata. Cintaku hanya berhenti sampai di bibir saja…

Bagaimana bisa selama ini aku bermimpi ingin menjadi seperti Bunda Teresa yang bisa melakukan perbuatan kasih dan menyerahkan hidupnya untuk pelayanan bagi mereka yang termiskin dari yang miskin kalau lelah sedikit saja sudah menyurutkan semangatku? Ah, aku malu pada diriku sendiri. Aku malu pada Yesus. Dan Yesus-pun pasti juga sedih dan malu punya anak pengecut seperti aku.

Aku tidak diminta untuk mati dipaku di kayu salib. Aku juga tidak dicambuk, diludahi, atau dimahkotai duri. Aku hanya diminta untuk mengasihiNya dalam tindakan nyata, melalui diri sesamaku, terutama mereka yang miskin dan menderita. Penderitaanku tidaklah sebanding dengan penderitaanNya untuk menebus dosa-dosaku. Dia hanya memintaku untuk memikul salibku dan berjalan mengikutiNya sampai ke Bukit Kalvari, untuk setia sampai akhir. Salibku hanyalah salib kecil yang ringan, karena Ia ada disisiku dan bersama-sama denganku memikul salibku. Ia tidak akan membiarkanku berjuang sendiri.

Ya Allahku, aku mohon rahmatMu agar aku dapat bangkit kembali, agar aku berani berkorban dengan tulus bagi sesama yang membutuhkan, agar aku tidak lari meninggalkan salibku, agar aku kuat memikul salibku, agar aku dapat setia melakukan kehendakMu sampai akhir… Amien.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar