Laman

Senin, 15 Agustus 2011

“Mbak, kenapa kok orang Kristen itu kalo makan sambil berdiri?”


 
Pada suatu saat aku berkesempatan menemani adik-adik sanggar yang diundang untuk turut memeriahkan acara perayaan Natal di sebuah gereja yang terletak di wilayah Surabaya Barat. Adik-adikku yang selama ini merupakan anak-anak dampingan dari yayasan yang berkecimpungan dalam pendampingan anak-anak pinggiran ini mendapat kesempatan menyuguhkan tarian dan nyanyian mereka.

Ketika acara makan tiba, kami langsung menuju ke meja-meja yang diletakkan di dekat pintu masuk aula, untuk mengambil makanan yang sudah dihidangkan secara prasmanan sejak awal acara.
Ketika semua orang banyak makan di sekitar meja-meja yang penuh dengan berbagai macam hidangan, aku dan beberapa adikku perempuan memilih untuk makan sambil duduk - menjauh dari keramaian - di kursi-kursi yang ditata di dekat panggung, karena memang di sekitar meja hidangan tidak disediakan kursi. Ya seperti standing party gitu lah suasana saat itu. Dan hanya kami yang makan sambil duduk pada waktu itu.

Di sela-sela waktu makan, ketika kami sedang menikmati tahu tek yang merupakan salah satu menu yang dihidangkan disana, salah seorang adikku bertanya, “Mbak, kenapa kok orang Kristen itu kalo makan sambil berdiri?” Aku tahu yang dia maksudkan adalah orang banyak yang sedang makan sambil berdiri di sekitar meja hidangan saat itu. Dengan jawaban yang begitu saja terlintas di pikiranku aku menjawab, “Supaya mereka bisa pindah-pindah tempat dan mudah menyapa orang-orang yang hadir, biar enak ngobrolnya, biar gampang ngambil makanan lagi.” Lalu dengan spontan adikku itu merespon, “Hah, masak makan satu piring ini gak cukup???”

Setelah pembicaraan dengan adikku itu, kata-katanya yang spontan dan penuh keheranan itu terngiang-ngiang terus. Mau tidak mau membuat aku merenungkan hal itu.

Ya, banyak diantara kita, termasuk aku sendiri, yang selama ini rela menghambur-hamburkan uang demi menikmati makanan enak. Bahkan tidak jarang, banyak dari kita yang rela membayar ratusan ribu bahkan jutaan rupiah demi menikmati makanan mewah di restoran ternama. Hanya untuk makan dengan beberapa orang teman atau anggota keluarga saja jumlah makanan yang dipesan begitu melimpahnya, bahkan tak jarang sampai terbuang karena tak termakan. Bahkan terkadang sudah ada jadwal khusus dalam satu minggu untuk makan makanan enak. Kita seakan-akan tidak tahu batas makan. Rela duduk berjam-jam di restoran all you can eat demi bisa makan sebanyak-banyaknya sampai perut membuncit, karena sudah membayar mahal dan tidak mau rugi dengan harga yang sudah dibayarkan. Dalam acara makan bersama, seringkali kita mengambil makanan sebanyak-banyaknya karena takut tidak kebagian, tapi ternyata malah tidak bisa menghabiskan dan akhirnya makanan itu terbuang percuma.



Kita tidak ingat, bahkan mungkin tidak mau mengingat dan tidak peduli, bahwa diluar sana masih banyak orang yang untuk bisa makan satu kali dengan layak saja mereka kesulitan. Bisa makan dengan menu ala kadarnya saja mereka sudah sangat bersyukur. Sungguh ironis, disaat banyak orang diluar sana yang kesulitan untuk makan secara layak bahkan sampai kelaparan, pada saat yang sama kita menghambur-hamburkan uang demi kenikmatan sesaat yaitu memanjakan lidah kita untuk waktu beberapa menit atau beberapa jam saja, bahkan membuang-buang makanan. Alangkah indahnya dunia ini, seandainya uang yang berlebih disisihkan untuk membantu sesama yang berkekurangan daripada dibelanjakan untuk hal-hal yang kurang penting yang merupakan kenikmatan sesaat. Aku yakin, kesenjangan sosial, kemiskinan dan kelaparan tidak akan terjadi apabila manusia tidak berlomba-lomba menimbun kekayaan sebanyak-banyaknya dan mengejar kenikmatan bagi diri sendiri tanpa mempedulikan kepentingan sesamanya, terutama mereka yang lemah.

Aku jadi ingat beberapa jam sebelumnya, ketika kami berada di dalam mobil yang membawa kami menuju gereja tempat acara. Aku bertanya apakah adik-adikku sudah makan sebelum berangkat. Dan mereka menjawab belum. Ada yang bilang mulai siang belum makan. Bahkan ada yang dari pagi belum makan. Tetapi tidak kudengar keluhan dari mereka dan bahkan ketika mereka dihadapkan pada bermacam-macam hidangan makanan saat itu, mereka tidak serta merta menjadi brutal. Cukup dengan sepiring tahu tek, mereka sudah merasa puas. Mereka sudah bersyukur bisa makan. Aku jadi malu karena seringkali mengeluhkan makananku yang rasanya kurang lezat atau kurang banyak, daripada bersyukur sudah bisa makan nasi dengan layak.

Terima kasih adikku, engkau sudah mengajariku untuk bersyukur, untuk lebih mementingkan kebutuhan daripada keinginan, untuk tidak mengejar kenikmatan bagi diri sendiri, untuk tidak menjadi serakah, untuk mengerti arti kata CUKUP.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar