Laman

Sabtu, 20 Agustus 2011

Aku telah memilihMu

Hari ini tanpa permisi terlebih dahulu, virus pilek datang bertamu mengunjungiku. Seperti jelangkung, datang tak dijemput pulang tak diantar.

Akhirnya, karena sejak dahulu kala pilek adalah salah satu pengapesanku, selain sakit maag tentunya, maka malam ini sepulang menunaikan tugas di kantor aku sengaja berbaring-baring saja di ranjang dengan harapan keadaan akan membaik tanpa perlu minum obat segala. Maksud hati ingin mengadu kekuatan antara antibodi dan virus pilek.

Alunan musik dari DVD player menemaniku malam ini. Lagu demi lagu mengalun pasti membawa anganku melayang ke masa lalu.

Kamis, 18 Agustus 2011

Sudahkah aku menjadi ragi?

Luk 13 : 18 – 21 (Perumpamaan tentang biji sesawi dan ragi)


(20) Dan Ia berkata lagi: “Dengan apakah Aku akan mengumpamakan Kerajaan Allah?
(21) Ia seumpama ragi yang diambil seorang perempuan dan diadukkan ke dalam tepung terigu tiga sukat sampai khamir seluruhnya.”

Dari jaman dahulu sampai dengan sekarang, orang membuat roti dicampur dengan ragi dengan tujuan menjadikan roti tersebut mengembang (tidak bantat), sehingga bisa menghasilkan lebih banyak roti dan tampilannya menjadi lebih sedap dipandang. Pemakaian ragi dapat mempengaruhi hasil akhir dari roti. Tanpa ragi, roti yang dihasilkan lebih sedikit dan penampilan roti terasa kurang bagus.

Senin, 15 Agustus 2011

“Mbak, kenapa kok orang Kristen itu kalo makan sambil berdiri?”


 
Pada suatu saat aku berkesempatan menemani adik-adik sanggar yang diundang untuk turut memeriahkan acara perayaan Natal di sebuah gereja yang terletak di wilayah Surabaya Barat. Adik-adikku yang selama ini merupakan anak-anak dampingan dari yayasan yang berkecimpungan dalam pendampingan anak-anak pinggiran ini mendapat kesempatan menyuguhkan tarian dan nyanyian mereka.

Ketika acara makan tiba, kami langsung menuju ke meja-meja yang diletakkan di dekat pintu masuk aula, untuk mengambil makanan yang sudah dihidangkan secara prasmanan sejak awal acara.

Jika aku menjadi penjual jagung serut keju…

Kami bertiga duduk terdiam di tepi jalan sambil mengamati kendaraan yang lalu lalang di jalan yang tidak terlalu lebar itu. Karena kami hanya membawa sebuah dingklik plastik, maka kami pun bergantian duduk. Yang tidak kebagian duduk di dingklik plastik ya cukup jongkok, atau duduk diatas kotak es batu.

Mission Impossible vs 3B + 1P

Tiga bulan berlalu sudah sejak berakhirnya Festival Merah Merdeka. Menyisakan pengalaman tak terlupakan akan suka duka sebuah perjuangan. Dan, sebuah pengalaman iman yang membuatku tergelitik untuk mengangkatnya dalam tulisan ini.

Suatu malam, saat sedang enak-enakan bersantai di kamar kos, nonton TV sambil tidur-tiduran, HPku berbunyi dan tulisan ‘1 message received” terpampang disana. Segera kubaca pesan yang dikirim oleh seorang teman relawan di sanggar. Sebuah undangan rapat. Kulihat jam berbentuk anjing diatas lemari, pukul 20.30. Dengan segera aku melesat memacu motorku.

Cintaku pada Yesus hanya dibibir saja

Tulisan ini kubuat untuk:
  • Diriku sendiri – sebagai pengingat ketika suatu saat aku mengalami hal serupa.
  • Teman-temanku yang sedang berjuang, yang mungkin saat ini sedang merasa ‘lelah’. Mudah-mudahan tulisan ini dapat memberikan semangat dan membantu untuk bangkit kembali.


Sekali lagi aku terbaring lemas diatas kasur bersprei putih, dengan selang infus menancap di punggung telapak tangan kiriku.

Guru-guru kecilku

Hampir dua minggu lamanya aku tidak datang ke sanggar. Aku memilih untuk menarik diri sejenak dari keramaian dan menyepi di kamar kos. Dalam kesendirianku aku berharap dapat menenangkan diri dan berpikir lebih jernih dalam menghadapi keruwetan yang kurasakan akhir-akhir ini. Tapi tetap saja belum kutemukan jalan keluar untuk masalah-masalahku yang menumpuk jadi satu, seperti gulungan benang kusut dan ruwet. Ditambah lagi kegagalan demi kegagalan yang kurasakan, yang membuatku semakin terpuruk di lubang gelap paling dalam.

Cahaya

Gadis itu duduk disampingku. Tak bersuara. Kepalanya tertunduk. Wajahnya sejajar dengan lantai teras. Tak ada gerakan berarti yang ia lakukan. Hanya sesekali mempermainkan kuku-kuku jarinya.

Kulihat jam tanganku. Lima menit berlalu sejak kami duduk di bangku panjang ini dalam diam. Aku pun tak sabar lagi. Kubuka percakapan dengan suara tersendat. “Jadi, akankah kau diam saja?”

Gadis itu, Cahaya, mengangkat wajahnya yang tanpa ekspresi sambil menoleh kearahku. Tak ada cahaya yang bersinar dari matanya. Yang kutangkap hanyalah kegelisahan.