Laman

Rabu, 19 Oktober 2011

Saat aku menomorduakan Tuhan

  

Luk 10 : 25 - 37 (Orang Samaria yang murah hati)

(27) “Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu dan dengan segenap akal budimu, dan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.”


Ketika awal-awal baru menjadi Katolik dan cinta pada Tuhan begitu menggebu-gebu, setiap hari saya selalu bangun tidur jam 03.30 untuk berdoa pagi dan sebelum tidur saya selalu meluangkan waktu untuk berdoa dan berbincang-bincang dengan Tuhan minimal setengah jam. Memang tidak mudah. Seringkali rasa kantuk dan rasa lelah menggoda saya untuk lebih memilih nikmatnya terbang ke pulau kapuk yaitu tidur. Namun, saat itu saya berusaha untuk melawan godaan itu dengan segenap kekuatan saya. Hasilnya memang sungguh luar biasa. Saya merasakan kedamaian dan ketenangan yang luar biasa dalam menjalani hidup.

Namun seiring dengan berjalannya waktu, saya merasa semakin terlena dengan kedamaian dan ketenangan yang saya rasakan.
Merasa semuanya dalam keadaan baik-baik saja, saya sudah tidak lagi memperjuangkan kehidupan doa saya dengan segenap hati dan kekuatan saya. Waktu yang saya luangkan untuk menyapa Tuhan melalui doa semakin lama semakin sedikit. Saat terasa begitu malas, mengantuk dan lelah, saya lebih mementingkan tidur.

Berdoa adalah salah satu wujud cinta kita kepada Tuhan, sebab dengan berdoa kita memberikan waktu kita untuk berbicara dari hati ke hati denganNya, bersyukur, dan mendengarkan kehendakNya. Mengasihi sesama juga merupakan perwujudan nyata kita dalam mengasihi Tuhan, sebab kita percaya bahwa Tuhan hadir tersamar dalam setiap diri sesama kita. Mengasihi sesama yang diminta oleh Yesus bukanlah sekedar mengasihi, melainkan mengasihi seperti kita mengasihi diri sendiri. Hal ini berarti kita memperlakukan sesama sebagaimana kita ingin diperlakukan oleh orang lain. Jika kita ingin diperlakukan dengan baik, maka kita juga harus memperlakukan orang lain dengan baik. Kita diminta untuk memberikan yang terbaik bagi sesama, bukan sisa-sisa. Cara termudah untuk dapat menghayati hal tersebut adalah dengan menempatkan diri kita pada posisi orang lain. Apabila hal yang kita lakukan itu terasa menyakitkan bagi kita, maka tentunya orang lain pun akan merasakan hal yang sama. 

Mengasihi Tuhan dengan segenap hati dan segenap jiwa dan dengan segenap kekuatan dan dengan segenap akal budi berarti mengutamakan Tuhan diatas segalanya dan tidak menomorduakan Tuhan. Hal ini berarti tidak ada tuhan lain selain Tuhan yang menciptakan kita. Juga berarti kita mengasihiNya dengan tulus, dengan penuh kesadaran, dengan tidak terpaksa. Memang, apa yang diperintahkan oleh Yesus dalam ayat 27 tersebut tidaklah mudah, mengingat dunia yang kita huni sekarang ini menawarkan begitu banyak tuhan-tuhan lain yaitu kenikmatan duniawi yang siap menggoda setiap saat dan membuat kita menomorduakan Tuhan, Allah kita. 

Saya merasa semakin lama semakin sering gagal dalam menghayati perintah Tuhan dalam ayat 27 tersebut karena saya semakin sering menomorduakan Tuhan. Dalam kehidupan doa, saya sering lebih mengutamakan tidur. Saya juga masih sering menyakiti sesama dengan perkataan dan perbuatan.  Namun apabila saya mengasihiNya dengan segenap kekuatan, maka pada saat gagal saya akan terus mencoba lagi sampai berhasil. Tuhan tidak semata-mata melihat hasil, tapi Ia melihat usaha saya. Karenanya, saya harus terus mencoba dan mencoba lagi untuk mengasihiNya dan mengasihi sesama meski jatuh bangun. 

Bagaimana dengan anda? Apakah anda juga mengalami hal yang sama dengan saya? Jika ya, marilah kita bersama-sama memohon rahmatNya agar kita mampu mengasihiNya dengan segenap hati dan dengan segenap jiwa dan dengan segenap kekuatan dan dengan segenap akal budi kita, dan mengasihi sesama kita manusia seperti diri kita sendiri. Amin. 


(Tulisan ini adalah salah satu Tugas Renungan dalam kelas KP3I yang saya ikuti di Paroki St. Vincentius a Paulo)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar